Di mana tempat digunakannya alat penangkapan ikan bubu?

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

Daerah aliran sungai (DAS) Poso memiliki luas ± 1101,87 km2 dan panjang ± 68,70 km, merupakan salah satu daerah penangkapan ikan sidat. (Ishak, 2010). Kegiatan penangkapan ikan sidat di sungai Poso cukup intensif, yang dilakukan oleh nelayan di sepanjang aliran sungai dari muara sampai ke danau. Ikan sidat di perairan Poso merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi primadona hasil tangkapan. Sidat merupakan jenis ikan katadromus, dimana pada fase glass eel terjadi migrasi dari muara menuju ke sungai dan danau, sedangkan pada fase induk terjadi migrasi dari danau menuju ke laut. Menurut Krismono (2010), setelah ikan sidat memijah, larva sidat bermigrasi ke perairan tawar melalui muara-muara sungai selanjutnya tumbuh dan berkembang sampai ukuran dewasa pada habitat perairan tawar seperti sungai dan danau. Estimasi produksi sidat pada tahun 1970- an minimal mencapai 22 ton per tahun, dugaan ini didasarkan pada jumlah alat tangkap yang terpasang di Sungai Poso yang mencapai 20 – 25 unit dan hasil tangkapan per alat per malam (Sarnita, 1973). Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan sidat di aliran sungai Poso adalah pagar (waya masapi) dan tombak yang beroperasi di outlet Danau Poso, Tentena, sedangkan di daerah muara Sungai Poso sampai daerah Sulewana didominasi oleh alat tangkap bubu dan pancing. Bubu termasuk salah satu jenis trap (perangkap) yang dipasang secara tetap didalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk namun sulit keluar.Alat ini biasanya di buat dari bahan alami, seperti bambu, kayu, atau bahan buatan lainnya seperti jaring, dan pengoperasiannya dapat memakai umpan atau tanpa umpan (Sudirman & A. Mallawa, 2004). Alat tangkap bubu banyak beroperasi di aliran DAS Poso dari hulu sampai hilir, terdiri dari 2 jenis yaitu terbuat dari jaring dengan mesh size 0,25 mm, lingkaran berupa kawat dengan diameter 80 cm dan terbuat dari bambu dengan panjang 200 cm dan diameter 30 cm. Bubu yang terbuat dari jaring banyak beroperasi di sekitar muara sungai Poso dengan cara diikat dengan tali dipinggir sungai dan posisi mulut bubu menghadap ke laut didiamkan selama 10 jam, diangkat sebanyak 2 kali. Pemasangan pertama dipasang sore hari pada jam 17.00 WITAsampai 22.00 WITA, pemasangan kedua dilakukan pada jam 22.30 WITA sampai 05.00 WITA. Hasil tangkapan bubu diperoleh ikan sidat dari fase glass eel hingga dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik alat tangkap bubu sidat dan aktivitas penangkapannya di DAS Poso, Sulawesi Tengah.

No other version available

Oleh aan supriatna 12 Mei, 2015

Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap “ traps “ dan penghadang “ guiding barriers “.

Beberapa bubu yang digunakan di Indonesia
  1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots).: Bubu yang daerah operasionalnya berada di dasar perairan.
    Bubu yang dipasang didasar laut
  2. Bubu Apung (Floating Fish Pots): Bubu yang dalam operasional penangkapannya diapungkan.
  3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots) : Bubu yang dalam operasional penangkapannya dihanyutkan. 

Disamping ketiga bubu yang disebutkan di atas, terdapat beberapa jenis bubu yang lain seperti : 

  1. Bubu Jermal : Termasuk jermal besar yang merupakan perangkap pasang surut (tidal trap). 
  2. Bubu Ambai.: Disebut juga ambai benar, bubu tiang, termasuk pasang surut ukuran kecil. 
  3. Bubu Apolo.:Hampir sama dengan bubu ambai, bedanya ia mempunyai 2 kantong, khusus menangkap udang rebon.
Konstruksi Bubu

  • Badan (body): Berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. 
  • Mulut (funnel): Berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tidak dapat keluar. 
  • Pintu: Bagian tempat pengambilan hasil tangkapan

Hasil tangkapan bubu tergantung pada jenis alat  tangkap bubu itu sendiri. Adapun jenisnya yaitu udang kualitas baik, seperti Kwe (Caranx spp), Baronang (Siganus spp), Kerapu (Epinephelus spp), Kakap ( Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), Ekor kuning (Caeslo spp), Ikan Kaji (Diagramma spp), Lencam (Lethrinus spp), udang penaeld, udang barong, kepiting, rajungan, tembang, japuh, julung-julung, torani, kembung, selar, ikan torani, ikan terbang (flying fish).

Alat Bantu Penangkapan Yang Digunakan Pada Bubu

  1. Umpan: Umpan diletakkan di dalam bubu yang akan dioperasikan. Umpan yang dibuat disesuaikan dengan jenis ikan ataupun udang yg menjadi tujuan penangkapan. 
  2. Rumpon: Pemasangan rumpon berguna dalam pengumpulan ikan. 
  3. Pelampung: Penggunaan pelampung membantu dalam pemasangan bubu, dengan tujuan agar memudahkan mengetahui tempat-tempat dimana bubu dipasang. 
  4. Perahu: Perahu digunakan sebagai alat transportasi dari darat ke laut (daerah tempat pemasangan bubu). 
  5. Katrol: Membantu dalam pengangkatan bubu. Biasanya penggunaan katrol pada pengoperasian bubu jermal.

Sumber : Materi Pelatihan Penangkapan Ikan

Alat tradisional bubu © Widhibek/Shutterstock

Kegiatan memburu ikan baik yang berlangsung di perairan tawar, payau, atau laut sejatinya memang sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak lama, baik secara sederhana untuk menjadi sumber bahan pangan sehari-hari atau pilihan mata pencarian masyarakat sebagai nelayan.

Namun di era modern saat ini, tak dimungkiri jika aktivitas penangkapan ikan juga banyak dilaporkan menimbulkan dampak negatif, berupa ancaman jumlah ikan yang tersedia di alam karena metode asal tangkap, hingga perusakan lingkungan di bawah air seperti kerusakan terumbu karang dan sebagainya akibat ketidakramahan alat yang digunakan.

Lebih detail, kerusakan terumbu karang yang dimaksud biasanya terjadi karena penggunaan alat penangkap ikan (API) bersentuhan langsung dengan dasar laut dan terumbu karang, sehingga ketika dijatuhkan atau diangkat pada saat tertentu menimbulkan pergesekan yang membuat ekosistem terumbu karang dan sejenisnya rusak.

Sejauh ini, umumnya ada tiga jenis alat tangkap ikan yang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri bahkan dilarang penggunaannya, yakni pukat tarik (seine nets), pukat hela (trawls), dan perangkap ikan peloncat.

Meski begitu, di samping jenis sejumlah API yang saat ini dilarang, sebenarnya ada beberapa metode penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan dengan menggunakan alat tertentu, bahkan alat yang dimaksud sudah banyak digunakan sejak lama, salah satunya adalah Bubu.

Perlu Tahu! Ini Dia Dua Jenis Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia

Sudah digunakan sejak tahun 1930

Gambaran bubu yang sudah digunakan pada masa lampau | Wikimedia Commons

Bubu adalah alat untuk menangkap ikan yang dibuat dari saga atau bambu yang dianyam kemudian dipasang dalam air pada kedalaman tertentu. Dengan bentuknya yang dirancang sedemikian rupa, ikan dapat masuk tetapi tidak dapat keluar lagi.

Berupa jebakan dan bersifat pasif, bubu sering juga disebut perangkap (traps) dan penghadang (guiding barriers). Memiliki bentuk kurungan layaknya ruangan tertutup, prinsip dasar dari bubu adalah menjebak penglihatan ikan sehingga ikan yang terperangkap tidak dapat keluar.

Di setiap daerah Indonesia, alat satu ini rupanya memiliki penyebutan nama yang beragam. Misalnya di Flores Timur, bubu biasa disebut dengan nama lokal Wuo. Sementara itu nama berbeda juga dimiliki masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat yang lebih sering menyebutnya dengan istilah Lukah.

Jika menilik pada wujud dan penggunaannya secara tradisional, bubu biasanya memiliki bentuk silinder dengan panjang 1,5 meter dan berdiameter 30 sentimeter. Belum digunakan di air laut, untuk alat satu ini biasanya lazim digunakan atau dipasang pada perairan tawar seperti sawah dan sungai-sungai kecil.

Mengenai cara penggunaannya, bubu akan diletakkan pada jalur strategis yang biasa dilalui ikan, kemudian didiamkan selama satu malam atau satu hari. Keesokan harinya, masyarakat yang memasang bubu baru kembali untuk mengangkat bubu dengan sejumlah ikan yang sudah terperangkap di dalamnya.

Salah satu sumber menyebut jika bubu sebenarnya sudah digunakan sejak kisaran tahun 1930 dan 1940-an, salah satu alasan yang membuat bubu tradisional dipastikan tidak merusak lingkungan dan dapat membuat sumber daya tetap seimbang adalah karena kebiasaan masyarakat zaman dulu atau masyarakat di pedesaan pada masa kini yang akan melepaskan ikan-ikan berukuran kecil.

Wujud bubu di masa kini | Faizal Rachman/ugm.ac.id

Selain memiliki bentuk bulat atau silinder, seiring perkembangannya bubu kini sudah memiliki bentuk yang beragam, terutama terkait kegunaannya saat sudah digunakan sebagai alat penangkap ikan di wilayah perairan asin atau laut.

Namun dari sekian banyak jenis bubu yang ada, satu yang paling banyak digunakan karena secara nyata tidak menimbulkan kerusakan terutama terhadap terumbu karang adalah bubu apung.

Memiliki bentuk bervariasi seperti kubus dan tabung, sesuai namanya bubu apung dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari dari bambu atau rakit bambu pada bagian atasnya.

Secara sederhana, setiap bubu biasanya memiliki tiga bagian utama yakni badan, lubang mengeluarkan hasil tangkapan, dan mulut bubu. Khusus pada mulut bubu, semakin ke dalam maka diameter lubangnya akan semakin mengecil dan melengkung, lengkungan tersebut berfungsi agar ikan yang masuk sulit untuk meloloskan diri atau keluar.

Inilah Bubu Apung, Perangkap Ikan Tanpa Merusak Karang

Kesenian Lukah Gilo bagi masyarakat Minangkabau

Lukah Gilo | indonesiakaya.com

Kembali pada keberadaan bubu dalam wujud tradisional, di salah satu wilayah tertentu tepatnya bagi Suku Minangkabau di Sumatra Barat, bubu yang seperti disebutkan sebelumnya lebih dikenal dengan nama Lukah ternyata di saat bersamaan telah melahirkan sebuah kesenian tradisional bernama Lukah Gilo.

Istilah lukah sendiri tetap bermakna alat tangkap ikan, sedangkan gilo berarti gila. Jika ditelisik, kesenian satu ini mirip dengan jelangkung atau lebih tepatnya ritual pemanggilan arwah atau roh untuk dikurung di dalam lukah yang telah dibalut menyerupai bentuk boneka, kemudian dikendalikan oleh seorang pawang atau guru yang disebut sebagai Kulipah.

Memadukan antara gerak dan ilmu kebatinan yang dimainkan pada acara-acara tertentu seperti pengangkatan penghulu, perhelatan nagari, dan upacara perkawinan, bentuk ritual kesenian tradisional satu ini memang menggunakan lukah yang dipegang dan ditahan dengan telapak tangan secara bersama-sama oleh sekitar tiga hingga empat orang.

Setelahnya, kulipah kemudian membacakan mantra hingga pada akhirnya orang-orang yang memegang serta menahan lukah merasa bahwa benda tersebut bergerak dengan sendirinya, gerakan tersebut semakin lama semakin kuat mengarah kesana-kemari sampai akhirnya terhenti sesuai dengan mantra yang telah selesai dirapalkan oleh kulipah.

Dari proses tersebut, lukah gilo dapat diartikan sebagai alat tangkap ikan yang terbuat dari rotan dan dapat bergerak ke mana-mana layaknya orang gila. Lukah gilo sendiri telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) sejak tahun 2018 lalu.

Genjek dan Gambuh, Seni Pertunjukan Tradisional Warisan Budaya Bali

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA