Di bawah ini yang merupakan peranan media komunikasi dalam masa pembangunan indonesia, kecuali

Pada masa Pendudukan Jepang, pasukan Jepang sepenuhnya mengendalikan media komunikasi massa, seperti surat kabar, majalah, kantor berita, film, maupun sandiwara. Sementara itu, dalam masa pembangunan, peran media massa sangat penting. Kemukakan peran media massa dalam masa pembangunan!

Berikut peran media massa dalam masa pembangunan.


  1. Alat penunjang pelaksanaan pembangunan Indonesia.
  2. Alat penyiar informasi, gagasan, pendapat-pendapat, inovasi, dan komunikasi yang beraneka ragam serta berjarak jauh.
  3. Mengubah sikap dan cara hidup untuk mencapai taraf yang lebih tinggi.
  4. Memberikan motivasi kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
  5. Memberikan penilaian kepada hasil-hasil pembangunan yang telah berhasil dicapainya.
  6. Memberitahukan kepada masyarakat tentang hambatan, gangguan, tantangan, ataupun ancaman yang harus dihadapi dalam masalah pembangunan.
  7. Menginformasikan tentang perkembangan sebuah masyarakat, bangsa, ataupun sebuah negara.
  8. Alat kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pelaksanaan perintah agar tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan.

------------#------------

Jangan lupa komentar & sarannya

Email:

oleh Mesalia Kriska (Dosen Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UGM)

Komunikasi dapat diartikan sebagai sebuah proses pertukaran informasi antara satu individu dengan individu lainnya dengan melalui perantara terntentu dan diharapakan adanya feedback dari individu yang menerima informasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses, yang melibatkan dua atau lebih orang dalam satu waktu, dan ada informasi yang dipertukarkan di dalamnya. JIka kita membicarakan mengenai sebuah komunikasi pembangunan, maka kita harus mengetahui definisi umum dari pembangunan secara luas yang menganut paradigma kekinian.

Pembangunan dalam arti luas merupakan sebuah proses perubahan sosial dalam masyarakat yang direncanakan untuk menyempurnakan, baik kemajuan sosial dan material, termasuk peningkatan persamaan, kebebasan, dan nilai-nilai kualitas lainnya, untuk kesejahteraan manusia melalui peningkatan kontrol yang lebih besar di lingkungan mereka (Rogers dan Hart, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan kekinian dalam pengertian ini tidak hanya membertimbangkan peningkatan ekonomi saja, namun sudah lebih memperhatikan aspek manusia dan aspek-aspek lainnya, dalam rangka peningkatan harkat hidup manusia menuju kemandirian untuk mencapai kehidupan yang lebih baik lagi.

Jika mengkaitkan satu dan lain manusia, dalam rentang waktu yang bersamaan, maka terjadi sebuah pertukaran di dalamnya. Pembangunan merupakan kegiatan yang melibatkan banyak orang, dalam suatu Negara, dan dalam waktu yang bersamaan. Tidak seluruh masyarakat mengerti akan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahnya, baik karena keterbatasan pendidikan bagi masyarakat, karena umumnya, masyarakat yang menjadi fokus utama program-program pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah adalah mereka yang hidup dalam sebuah keterbatasan, yang kurang mampu bertahan dalam kondisi sulit, yaitu masyarakat miskin yang masih sulit dalam melakukan pekerjaan lebih baik lagi karena keterbatasan pendidikan dan kemampuan yang ada di dalam diri mereka, meskipun mereka mau dan mampu.

Keterbatasan-keterbatasan yang dialami oleh masyarakat itulah yang menjadi fokus utama para ahli komunikasi saat ini. Utamanya adalah, bagaimana mengkomunikasikan ide-ide maupun program-program pembangunan agar masyarakat mengerti akan latar belakang, tujuan, serta hal-hal yang harus dilakukan oleh mereka sesuai dengan perencanaan dari pemerintah itu sendiri. Hal ini dalam rangka mensukseskan pembangunan itu sendiri. Selain itu, sebuah pembangunan tentinya tidak lepas dari gagal dan berhasil di dalamnya. Masyarakat juga berhak untuk mengetahui apa problematikanya, sampai mana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahnya, dan bagaimana pembangunan itu sukses dilakukan di Negara-negara lain. Sosialisasi-sosialisasi ini dilakukan tentunya dalam rangka mendorong keinginan masyarakat untuk berubah ke arah mendukung pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahnya, dengan melihat kisah-kisah sukses dari Negara lain dengan tipe pembangunan yang sama. Jika menilik dari jangkauannya yang luas, maka komunikasi pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan media massa. Seperti yang diungkap oleh Nasution (2009) bahwa komunikasi pembangunan merupakan sebuah komitmen untuk meliput secara sistematik problematika yang dihadapi dalam pembangunan suatu bangsa. Dengan demikian, masyarakat menjadi lebih mengerti dan dapat menjadi kritis akan pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahnya.

Komunikasi pembangunan merupakan sebuah media yang mendekatkan masyarakat dengan pembangunan. Seperti yang diketahui sebelumnya, sejarah pendekatan pembangunan setelah perang dunia ke II tidak jauh dari adanya peran komunikasi di dalamnya, namun  perkembangan-perkembangan media dan cara berkomunikasi yang digunakan hingga saat ini menunjukkan bahwa media massa dianggap kurang efektif dalam memberikan informasi sebuah pembangunan itu sendiri. Seperti sejarah yang diungkapkan oleh Mefalopulos, 2008, bahwa ada 3 pendekatan teoritis yang mendominasi konteks dari pembangunan yang secara tidak langsung turut merubah konsep komunikasi pembangunan di dalamnya, yaitu paradigma modernisasi, teori ketergantungan, dan paradigma partisipatif.

Paradigma modernisasi merupakan paradigma yang muncul sesaat setelah perang dunia ke II. Seperti yang kita tahu, modernisasi merupakan sebuah proses dimana pembangunan ekonomi sebagai fokus utamanya, dengan industialisasi besar-besaran di dalamnya. Mefalopulos menyebutkan bahwa modernisasi umumnya mengabaikan pertimbangan dimensi sosial yang relevan di dalamnya, serta menggunakan media massa sebagai media yang digunakan untuk mensukseskan pembangunan yang ada di dalamnya. Namun, muncul sebuah kritik pada era tersebut bahwa penggunaan media massa yang dikuasai oleh pemerintah memunculkan anggapan bahwa segala kebijakannya cenderung top-down, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi masyarakatnya, atau dengan kata lain, masyarakat dianggap sangat pasif. Media massa memang secara sendirian tidak mampu merubah pemikiran orang, apalagi merubah perilakunya. Kritik ini diikuti dengan kemunculan teori ketergantungan, yang disinyalir semakin membuat Negara kaya semakin berkuasa, dan Negara miskin semakin berada di kondisi underdeveloped.

Teori ketergantungan ini menunjukkan aliran informasi dalam media yang berat sebelah. Kritik yang muncul adalah media dan teknologi komunikasi yang ada pada saat itu, seharuskan memberikan informasi yang berimbang, namun kenyataannya, mereka hanya mengalirkan informasi yang berasal dari Negara yang berkuasa, terutama AS, yang memiliki peran dominan dalam pembangunan Negara-negara lainnya. Hal ini memunculkan banyak pertentangan, karena menilai dengan sering munculnya Negara tersebut di berbagai media yang ada, pemikiran masyarakat seolah-olah seperti digiring untuk bergantung pada Negara adikuasa tersebut. Atas segala kritik itulah akhirnya muncul sebuah paradigma yang masih diusung dan dijadikan paradigma pembangunan di semua Negara saat ini, yaitu paradigma partisipatif.

Pendekatan partisipatif merupakan bentuk pergeseran dari cara individu yang awalnya menjadi penerima pasif, dilibatkan dalam proses pembangunan, dalam rangka mendukung konsep pembangunan yang semakin berkembang, yaitu pembangunan manusia dengan memperhatikan sektor-sektor yang ada di sekitarnya. Pendekatan partisipatif menganut sebuah metode komunikasi yang dialogis, dekat dengan masyarakat, dan mampu mengarahkan masyarakat untuk turut memiliki andil di dalamnya. Mardikanto dan Soebiato (2013) menjelaskan bahwa komunikasi pembangunan dalam era partisipatif diharapkan mampu menunjukkan masyarakat akan adanya kemampuan dan potensi yang telah dimiliki oleh mereka, dan bersama-sama secara partisipatif masyarakat merumuskan berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh diri mereka sendiri dalam rangka untuk memecahkan masalah yang ada, sehingga akhirnya mereka bisa secara mandiri keluar dari masalah yang selama ini dihadapinya.

Dari ketiga uraian perkembangan pendekatan pembangunan terbut, dapat disimpulkan bahwa komunikasi pembangunan melalui media massa semakin ditinggalkan karena dianggap ia hanya memberikan informasi yang cenderung top-down, kurang memberikan ruang bagi masyarakat untuk bersuara. Namun, hal yang terjadi justru kebalikannya di Indonesia. Meskipun dunia sudah mendiskreditkan peran media massa dalam memberikan informasi-informasi pembangunan yang berta sebelah, media massa di Indonesia justru melaju dengan pesat akhir-akhir ini.

Di Indonesia pada masa penjajahan, media massa digunakan oleh pemerintah sebagai sarana propaganda untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia kepada penjajah, sehingga keberadaannya dinilai mengancam kolonialisme Belanda. Hal ini menyebabkan Belanda mengeluarkan aturan hukum untuk membatasi ruang gerak media massa, yang disebut Media massabreidel Ordonantie 1931. Pada saat itu keberadaan media massa dikecam habis-habisan dan tidak mengalami perubahan berarti bahkan sampai Indonesia merdeka. Meskipun pada tahun 1954 Media massabreidel Ordonantie dihapus, akan tetapi pada jaman tersebut justru pertama kalinya terjadi pembredelan koran dalam sejarah media massa RI (Suadi, 2003 cit Adhiyasasti dan Rianto, 2006).

Pada saat memasuki era Demokrasi Terpimpin, keberadaan surat kabar masih tertekan, karena dituntut untuk menandatangani 19 pasal peraturan, yang salah satunya yaitu kesepakatan untuk mendukung dan membela Manipol haluan negara dan mendukung program-program pemerintah. Akan tetapi, meskipun sudah mematuhi aturan yang ada, pembredelan surat kabar masih tetap terjadi. Surat kabar yang bertahan pada masa itu adalah surat kabar yang berhaluan komunis (Anwar, 2001 cit Adhiyasasti dan Rianto, 2006).

Setelah itu masuklah rezim Orde Baru yang menganut paham otoritarian. Sistem media massa yang berkembang pun sesuai dengan paham yang dianut, yaitu media massa mengabdi kepada pemerintahan yang berkuasa dan hanya menyiarkan berita-berita yang mendukung kebijakan pemerintah. Keberadaan media massa saat itu berfungsi apa adanya, meskipun pemerintah memberikan sanksi yang tegas apabila terdapat pelanggaran di dalamnya. Pembredelan hanya dilakukan terhadap media massa yang berbau pornografi. Akan tetapi, seiring berkembangnya waktu, media massa semakin bersikap kritis sehingga pemerintah mulai memberikan sanksi yang semakin keras, dan puncaknya terjadi pada tahun 1974, yaitu terjadinya peristiwa Malari (Abar, 1995 cit Adhiyasasti dan Rianto, 2006).

Setelah kejadian itu, fungsi media massa Indonesia menjadi mati suri. Mereka diawasi habis-habisan oleh pemerintah dan hanya dapat menyiarkan informasi yang dikehendaki oleh pemerintah saja. Keadaan ini terus berjalan hingga akhirnya pada tahun 1998, rezim Soeharto berakhir dan kebebasan media massa dijamin oleh rezim yang dituntutkan oleh masyarakat Indonesia, yaitu rezim reformasi.

Setelah runtuhnya rezim orde baru, pemerintah mulai merombak kembali peratunan mengenai keberadaan media massa di Indonesia. Oleh karena itu, UU Media Massa No. 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa. Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999, fungi media massa ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara itu UU Media Massa No 40 Tahun 1999 Pasal 6 menegaskan bahwa media massa nasional melaksanakan peranan sebagai berikut.

  1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan menegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi.
  2. Mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
  3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
  4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
  5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dengan lahirnya UU Media massa tersebut, liberalisasi bagi dunia media massa di Indonesia makin tampak jelas, bahkan setiap warga negara diperbolehkan untuk menyatakan pendapat termasuk mendirikan perusahaan media massa Dalam sejarah perkembangannya, tercatat jumlah media cetak mengalami lompatan luar biasa pada tahun 1998, awal mula era reformasi. Setiap orang sangat mudah mendirikan koran baru, tabloid, dan majalah. Berkait hal ini, Wakil Ketua Dewan Media massa, Leo Batubara menyebutkan hingga awal tahun 2009 di Indonesia ada sekitar 1008 media cetak, 150 lebih media televisi, dan 2000 lebih radio. Total tiras media cetak mencapai 19,08 juta eksemplar (Martono, 2011). Kemudahan dalam mendirikan media ini sayangnya tidak diikuti dengan tanggungjawab yang semakin besar untuk menjalankan peranannya dengan lebih baik. Banyak diantara mereka yang kurang memperhatikan nilai suatu berita serta unsur yang ada di dalamnya. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas produk informasi yang disajikan kepada masyarakat, mengingat keberadaan audiens sangat menentukan keberadaan suatu lembaga media massa, yang umumnya mengandalkan hasil penjualan oplah maupun hasil siaran untuk menghidupi lembaganya.

Berdasarkan uraian kontras kedua sejarah media massa dalam komunikasi pembangunan, kenyataan di Indonesia adalah keberadaan media massa dapat membantu penyampaian informasi mengenai pembangunan kepada masyarakat. Media massa jaman orde baru meskipun dikekang oleh pemerintah, justru keberadaannya sangat mendukung penyampaian informasi mengenai pembangunan.

Kaitannya dengan pembangunan, media massa memiliki fungsi tersendiri yang tidak dapat lepas dari kedekatannya dengan masyarakat. Media massa dapat berfungsi sebagai jembatan informasi antara pemerintah dengan masyarakat karena penyebaran informasi melalui media massa dinilai cukup efektif untuk mengetahui informasi satu dengan lainnya. Baik pemerintah, mengenai keadaan masyarakatnya dari segala aspek maupun masyarakat, mengenai kebijakan pemerintah yang diambil dalam rangka menjawab masalah yang ada pada masyarakat. Seiring dengan fungsinya tersebut, otomatis media massa juga dapat menjadi kontrol sosial bagi perkembangan kehidupan masyarakat serta kontrol bagi pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Nasution (2009) memberikan pendapatnya tersendiri selain peran media yang sudah diuraikan sebelumnya, media massa dalam pembangunan juga dapat berperan untuk memperluas wawasan masyarakat, melakukan agenda setting untuk memfokuskan perhatian masyarakat pada pembangunan, dapat meningkatkan aspirasi dengan banyaknya media yang memberikan kesempatan masyarakat untuk andil di dalamnya, dapat memberikan masukan untuk saluran komunikasi antarpribadi, memperlebar dialog kebijakan dengan membuka opini masyarakat, mempengaruhi nilai-nilai yang kurang dianut, membantu berbagai jenis pendidikan dan pelatihan, serta menuntut masyarakat untuk selalu kritis terhadap pembangunan yang sedang dilakukan oleh pemerintah.

Dengan kata lain, meskipun partisipasi merupakan pendekatan yang memang dianut oleh pembangunan di Indonesia, bukan berarti mendiskreditkan peran media massa di dalamnya. Indonesia merupakan bangsa yang luas dan tersebar di ribuan pulau yang ada. Media massa menjadi penting untuk menjangkau wilayah yang sulit dijangkau oleh pemerintah langsung. Perkembangan media saat ini di Indonesia juga memberikan banyak andil dalam menyampaikan program pembangunan dari satu daerah ke daerah yang lain, sehingga memunculkan semangat bagi masyarakat di daerah lainnya untuk terus meningkatkan pembangunan di lingkungannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Harsoyo (1993) juga menguraikan bahwa media massa memiliki berbagai kelebihan jika dibandingkan media lainnya di Indonesia, yaitu sebagai berikut.

  1. Media massa memiliki kredibilitas khusus dan mampu memerankan fungsi agenda-setting. Hal ini menunjukkan bila sebuah isu diungkap di sebuah media massa tertentu, topik tersebut akan dianggap oleh pembaca sebagai sesuatu yang penting, apalagi bila dimuat secara terus-menerus dan kontinyu.
  2. Media massa mampu mempertahankan Fidelity merupakan sebuah ketepatan dalam pemberitaan yang disampaikan. Suatu pesan yang tidak terdokumentasi dengan baik tentunya tidak dapat mempertahankan fidelity dari pesan tersebut.
  3. Media massa mampu menyebarluaskan pesan secara murah, cepat, terstandarisasi, dan akurat. Media ini dapat mereproduksi pesan secara besar-besaran untuk didistribusikan ke sasaran, baik dengan caranya sendiri-sendiri, apakah dicetak dan disebarkan dalam oplah yang besar, atau didokumentasikan dan disiarkan ke sasarannya.
  4. Media massa memungkinkan terjadinya komunikasi multi-channel, yang terkait dengan media massa sebagai media dalam berkomunikasi massa. Hal ini menguntungkan jika sebuah program pembangunan akan disajikan untuk masyarakat yang luas, dalam waktu yang bersamaan. Keuntungan ini tentunya sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia dengan jumlah penduduk yang banyak dan lokasi yang berjauhan satu dengan lainnya.
  5. Memungkinkan terjadinya umpan-balik (feed-forward). Meskipun dengan caranya masing-masing, media massa, baik cetak maupun elektronik, saat ini mulai mempertimbangkan feedback dari masyarakat. Perusahaan-perusahaan media kini menerima segala bentuk partisipasi masyarakat dalam menyalurkan informasinya, untuk bisa disebarluaskan kepada masyarakat.

Dari segala uraian tersebut, kembali diulas bahwa media memiliki peran tersendiri, yang sulit untuk digantikan dengan media yang lain. Meskipun keberadaan media massa sangat mempengaruhi perkembangan positif dari pembangunan suatu negara, khususnya di Indonesia, perlu diingat bahwa tidak selamanya perkembangan positif tersebut memberikan dampak yang positif pula. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yang berasal dari dalam maupun luar media massa itu sendiri.

Media massa di Indonesia sudah dijamin kebebasannya sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru dan mengudaranya Era Reformasi hingga saat ini. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kebebasan tersebut justru sedikit disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang hanya ingin mengambil keuntungan materiil saja. Misalnya dengan semakin maraknya pembentukan lembaga-lembaga media massa baru yang dikhawatirkan dapat menaikkan tingkat persaingan di dalamnya. Jika terjadi persaingan yang sehat, maka dapat memberi dampak positif, yaitu semakin memperbaiki kualitas berita yang disediakan. Mereka berlomba-lomba untuk menyajikan berita yang lebih bernilai dan bermanfaat untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaganya. Namun, jika persaingan yang terjadi kurang profesional, justru akan menimbulkan dampak negatif, yaitu menurunkan kualitas berita yang disajikan, dalam artian berita tersebut masih perlu dipertanyakan kesesuaian nilai beritanya. Mereka hanya mementingkan segi komersialisme mereka untuk mendukung keberadaan lembaga tanpa perlu memperhatikan kemanfaatan informasi yang disampaikan, hanya sekadar memberi berita yang sensasional, sarat akan berita hiburan tanpa adanya unsur pendidikan. Kedua sisi pandangan tersebut terjadi dalam media-media massa di Indonesia yang sarat akan kepentingan tertentu. Ada lembaga yang bergerak ke arah positif dalam memproduksi sebuah informasi, namun ada pula lembaga yang bergerak ke arah negatif. Dampak yang kedua ini jelas tidak mendukung pembangunan negara. Keberadaan dampak negatif tersebut dibuktikan dengan maraknya peredaran media massa kuning di Indonesia.

Seiring dengan keberadaan dampak positif dan negatif dari media massa di Indonesia tersebut, tentunya diperlukan konsekuensi-konsekuensi dari pihak masyarakat sebagai sasaran berita untuk dapat menerima dampak positifnya, dan meninggalkan dampak negatif yang ada. Konsekuensi tersebut adalah masyarakat dituntut untuk selektif memilih berita. Tuntutan tersebut haruslah diimbangi dengan kemampuan daya pikir untuk menganalisa berita yang ada. Masalahnya, tidak semua masyarakat Indonesia mampu. Masih ada masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah karena kondisi sosial dan ekonominya yang di bawah rata-rata. Padahal, sasaran pembangunan negara sendiri lebih difokuskan pada pembangunan masyarakat yang ada dalam kondisi ini. Jika mereka masih belum mampu mengolah informasi yang ada, otomatis pembangunan yang terjadi masih belum dapat berjalan maksimal. Pada kondisi masyarakat yang seperti ini, media massa hanya berfungsi sebagai penghubung masyarakat dengan pemerintah, sehingga strategi pembangunan yang akan direncanakan dapat berjalan lebih efektif. Akan tetapi, perlu pendekatan lebih intensif lagi dari pemerintah dalam rangka menjalankan strategi pembangunan tersebut.

Hal ini berarti media massa, dalam pembangunan di Indonesia tidak sepenuhnya menentukan. Harus dilihat lebih dahulu tipe pembangunan yang sedang berlangsung. Jika pembangunan tersebut ditujukan kepada kelompok elit dan urban, yang notabene pengguna media massa yang jeli terhadap berita yang diperlukannya, peran media tentu sangat besar terhadap mereka. Artinya, peran media massa tidak hanya dilihat dari pengaruhnya terhadap perubahan psikologis dan pengetahuan, tetapi juga kemanfaatan yang dapat diambil oleh masyarakat penikmatnya untuk digunakan sebagai alat untuk mengubah posisinya ke tempat yang lebih baik berdasarkan informasi-informasi yang disajikan. Jika dengan perubahan posisi tersebut kesenjangan dalam diferensiasi sosial akan semakin berkurang, maka media massa memiliki peran faktual dalam pembangunan.

Sumber:

__________, Undang-Undang Media Massa Nomor 40 Tahun 1999.

Adhiyasasti, Menur dan Puji Rianto, 2006, Jurnalisme kuning di Indonesia dan matinya profesionalitas, Dalam Menyingkap Profesionalisme Kinerja Surat Kabar Di Indonesia. Pusat Kajian Media dan Budaya Populer, Dewan Media massa, dan Departemen Komunikasi dan Informasi, Jakarta.

Harsoyo. 1993. Peranan Media Massa Surat Kabar dalam Pembangunan. Seminar Pembinaan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian 18 November 1993. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mardikanto, T dan Soebiato, P, 2013, Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.

Martono, Joko, 2011, Merunut Perkembangan Pemberitaan Media Massa dalam <http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/03/16/merunut-perkembangan-pemberitaan-media-massa/>.

McQuail, D, 1996, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Jakarta: Erlangga.

Mefalopus, P, 2008, Development Communication Sourcebook, Broadening the Boundaries of Communication, Washington D.C: The World Bank.

Nasution, Z. 2009. Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya. Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rogers, E.M dan Hart, W.B., 2001, The Histories of Intercultural, International, and Development Communication, Dalam Handbook of International and Intercultural Communication Second Edition, Ed. Gudykunst and Bella Mody, London: Sage Publications.