Bagaimanakah pengaruh dari adanya produk Scrap rusak dan cacat terhadap penentuan harga pokok produk

Ayuningtyas. Dwinta. 2013. “Evaluasi Penerapan Biaya Standar Sebagai Alat perencanaan dan Pengendalian Biaya Produksi Pada Harian Tribun Manado”, Jurnal Emba. Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Bustami & Nurlela, 2007, Akuntansi Biaya: Teori & Aplikasi. Graha Ilmu. Jakarta

Firmansyah, Iman. 2014. Akuntansi Biaya Itu Gampang. Jakarta : Dunia Cerdas

arrison, et all. 2009. Akuntansi Manajerial Edisi 11. Jakarta: Salemba Empat

Hansen, Don R dan Mowen Maryane M. 2009. Akuntansi Manajerial. Edisi 8. Buku 1. Penerbit Salemba Empat, Jakarta

Herawati, Shinta., Indri Lestari, 2012. Tinjauan atas Perlakuan Akuntansi untuk Produk Cacat dan Produk Rusak pada PT Indo Pacific. Jurnal SNAB. Universitas Widyatama http://repository. widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/ 123456789/1911/66- Shinta%20Dewi%20HerawatiIndri.pdf? sequence=3 diakses tanggal 27 Oktober 2013. Hal 570-583.

Kotler, Philip. 2009. Manajemen Pemasaran. Erlangga, Jakarta.

Lintong, P.G. and Tinangon, J.J., 2014. PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP PRODUK RUSAK PADA PT. PABRIK GULA GORONTALO. JURNAL RISET EKONOMI, MANAJEMEN, BISNIS DAN AKUNTANSI, 2(2).

Lisnawati, L., 2011. PENGARUH ORIENTASI PASAR TERHADAP DISTINCTIVE CAPABILITY DAN IMPLIKASINYA PADA KEUNGGULAN BERSAING UMKM KOTA BANDUNG SEBAGAI INDUSTRI KREATIF (SURVEI PADA EMPAT SENTRA UMKM UNGGULAN KOTA BANDUNG), STRATEGIC, 10(19), pp.70-86.

Mulyadi. 2012. Akuntansi Biaya, Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta.

Wirartha, I Made. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Yogyakarta : CV Andi Offset

Bagaimanakah pengaruh dari adanya produk Scrap rusak dan cacat terhadap penentuan harga pokok produk

Produk rusak (spoilage) merupakan unit yang tidak dapat diterima sehingga harus dibuang atau dijual dengan nilai yang lebih rendah. Produk cacat (rework) adalah unit yang perlu diperbaiki secara ekonomi, sehingga produk tersebut dapat dijual melalui saluran reguler. Sisa Bahan (Scrap) merupakan bagian dari produk yang tidak memiliki nilai atau jika memiliki, nilainya sangat kecil.

            Ada dua jenis produk rusak : produk rusak normal dan produk rusak tidak normal. Produk rusak normal terjadi dalam kondisi operasi yang efisien dan tidak dapat dikendalikan dalam jangka pendek dan diperhitungkan sebagai bagian dari biaya produk. Sedangkan produk rusak tidak normal menyebabkan kerugian melebihi atau di atas perkiraan dalam kondisi operasi yang efisien dan dibebankan sebagai kerugian dalam periode berjalan.

            Biasanya produk rusak ditemukan pada akhir proses dengan demikian ia telah menyerap biaya produksi sehingga harus dimasukkan dalam perhitungan unit ekuivalen.

            Sebagaimana diketahui, produk cacat  adalah produk yang tidak sesuai standar dan masih dapat diperbaiki. Maka membutuhkan biaya perbaikan., dapat berupa biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. Persoalannya adalah perlakuan atas biaya perbaikan tersebut.

            Produk cacat dapat bersifat normal ataupun tidak normal.  Perlakuan atas biaya tambahan adalah sebagai  berikut :

v  Jika cacat normal  : biaya perbaikan  akan menambah biaya produksi.

v  Jika cacat tidak normal : biaya perbaikan diperlakukan sebagai rugi produk cacat. Biaya produksi tidak bertambah.

Produk cacat masuk dalam perhitungan unit ekuivalen.

PENGARUH LINGKUNGAN MANUFAKTUR BARU

Tiga pengaruh utama sistem JIT pada metode biaya proses :

  1. perbedaan dalam biaya per unit antara metode MPKP dengan rata-rata dapat dikurangi dengan cara menurunkan unit sediaan.
  2. Semakin kecil perbedaan antara sediaan akhir produk selesai dengan sediaan BDP
  3. Dibutuhkan cost driver atau dasar pembebanan yang baru (selain tenaga kerja langsung) untuk membebankan BOP ke proses dan produk.

Semakin banyak perusahaan manufaktur yang menuju Flexible Manufacturing System (FMS) dan Cellular Manufacturing System (CMS).  FMS  menggunakan robot dan sistem penanganan bahan yang dikendalikan oleh komputer untuk menghubungkan beberapa mesin yang secara cepat dan efisien dapat diubah-ubah dari satu proses produksi ke proses produksi lainnya.

            Pengaruh FMS terhadap penentuan biaya produk sama dengan JIT. Dalam lingkungan FMS, sistem biaya proses lebih bermanfaat dibanding biaya pesanan karena lebih banyak laporan akuntansi yang didasarkan pada periode waktu bukan berdasarkan penutupan pesanan.

            CMS membentuk sel yang terdiri dari mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk mengolah bahan atau suku cadang dengan persyaratan pemrosesan yang serupa. Untuk memperbaiki efisiensi produksi, sebagian besar suku cadang berjalan dalam arah yang sama dari satu sel ke sel lainnya. Sekumpulan sel yang bertugas membuat produk, membuat suatu bentuk pabrik yang terfokus. Dengan CMS struktur proses manufaktur dilakukan berdasarkan lini produk bukan berdasarkan proses. Sehingga sistem penentuan biaya berdasarkan aktivitas (activity based costing) lebih bermanfaat dibandingkan sistem biaya proses tradisional.

Pengertian Produk Rusak

Sebelum membahas tentang perlakuan akuntansi atas produk rusak, terlebih dahulu perlu diketahui tentang pengertian produk rusak berikut ini :

Menurut Supriono (1999:182) mengemukakan bahwa :

Produk rusak adalah produk yang kondisinya rusak atau tidak memenuhi ukuran mutu yang telah ditentukan dan tidak dapat diperbaiki secara ekonomis menjadi produk yang baik, meskipun mungkin secara teknik dapat diperbaiki akan berakibat biaya perbaikan jumlahnya lebih tinggi dibanding kenaikan nilai atau manfaat adanya perbaikan.

Selanjutnya menurut Hartanto (1992:388) menjelaskan pengertian produk rusak adalah “merupakan unit-unit yang karena keadaan fisiknya tidak dapat dilakukan sebagai produk akhir, dan harus dibuang atau dijual dengan harga jauh dibawah harga jual produk akhir”. Menurut Mulyadi (1999:324) bahwa “produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan, yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki menjadi produk yang baik”.

Berdasarkan pengertian tentang produk rusak di atas dapat disimpulkan bahwa dalam membuat atau memproses suatu barang kadang-kadang terdapat produk rusak. Produk rusak ini merupakan produk yang tidak memenuhi standar mutu produk yang telah ditentukan dan secara ekonomis tidak dapat diperbaiki. Produk rusak ini mempunyai wujud fisik, tetapi kondisinya rusak. Pada dasarnya produk rusak secara teknis bisa diperbaiki menjadi produk yang baik, tetapi biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada nilai manfaatnya, sehingga produk rusak dikatakan secara ekonomis tidak dapat diperbaiki. Produk rusak biasanya diketahui setelah selesainya proses produksi, sehingga produk rusak ini sudah menikmati biaya produksi sehingga produk rusak ini nantinya akan diikutkan dalam perhitungan unit ekuivalen.

5. Sebab Terjadinya Produk Rusak

Menurut Sutrisno (2001:124) bahwa “penyebab terjadinya produk rusak ada dua yaitu produk rusak karena kagiatan normal perusahaan atau produk rusak normal dan produk rusak karena kesalahan atau produk rusak abnormal”. Berikut ini disajikan penjelasan kedua penyebab terjadinya produk rusak :

a.       Produk rusak karena kegiatan normal perusahaan, yaitu apabila produk rusak ini memang sering terjadi pada kegiatan normal perusahaan, apabila produk rusak ini memang sering terjadi pada kegiatan normal perusahaan, sehingga biasanya memang dicadangkan adanya produk rusak dalam proses produksi. Untuk dapat dikatakan normal, menurut Hartanto (1992:390) bahwa sejumlah produk rusak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1.      Diharapkan terjadi dalam kondisi operasi yang efisien.

2.      Bersifat inheren pada tingkat operasi yang direncanakan

3.      Bersifat tidak terkendali untuk jangka pendek.

Pada umumnya, biaya produksi atau harga pokok produk rusak yang bersifat normal diperlakukan sebagai bagian dari harga pokok produk selesai, karena adanya produk rusak dianggap perlu untuk menghasilkan sejumlah produk selesai tersebut.

b.      Produk rusak, karena kesalahan atau abnormal, yaitu apabila produk rusak yang penyebabnya karena kurangnya pengawasan, kesalahan pengerjaan, kerusakan mesin, pemakaian bahan dibawah kualitas standar. Untuk dapat dikatakan abnormal, maka Hartanto (1992:391) mengemukakan bahwa produk rusak memiliki karakteristik sebagai berikut:

1.      Tidak diharapkan terjadi dalam kondisi operasi yang efisien.

2.      Tidak bersifat inheren pada tingkat operasi yang direncanakan.

3.      Bersifat terkendalikan, dalam arti supervisor dapat mempengaruhi tingkat efisiensi operasi.

Harga pokok atau biaya produksi yang melekat pada produk rusak bersifat abnormal, karena pada dasarnya dihindarkan diperlakukan sebagai suatu kerugian dalam periode terjadinya produk rusak.

6.      Perlakuan Akuntansi Produk Rusak Terhadap Harga Pokok Produksi

Dalam proses produksi memungkinkan timbulnya produk rusak. Bagi manajemen disamping mengetahui informasi produk rusak, juga harus mengetahui apakah produk rusak tersebut sifatnya normal atau abnormal. Sedangkan dari segi akuntansi biaya timbul masalah untuk perlakuan akuntansi atas produk rusak dalam penentuan harga pokok produksi. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam perhitungan harga pokok produksi, perusahaan perlu memperhitungkan adanya unit ekuivalen untuk menentukan harga pokok produk selesai, harga pokok produk dalam proses maupun harga pokok untuk produk rusak. Sehingga dapat menghasilkan perhitungan ataupun informasi harga pokok produk yang akurat sesuai dengan metode harga pokok produksi. Hasil dari perhitungan harga pokok produk tersebut dibuatkan jurnal sesuai dengan prosedur akuntansinya.

Tergantung pada tipe produksinya atau departemen-departemen yang tercakup dalam proses produksinya, di dalam praktek, terdapat berbagai metode atau perlakuan akuntansi terhadap produk rusak yang tidak dapat ditolerir, karena menyimpang dari tujuan akuntansinya, sampai yang paling akurat dan sangat informatif. Menurut Hartanto (1992:391) bahwa idealnya, akuntansi terhadap produk rusak harus mencakup tahap-tahap adalah :

a.       Tahap alokasi biaya produksi kepada harga pokok produk akhir, produk rusak normal dan produk rusak abnormal.

b.      Tahap pembebanan harga pokok produk rusak baik kepada produk akhir (untuk yang rusak normal) maupun kepada rugi produk rusak (untuk yang rusak abnormal).

Menurut Sutrisno (2001:124) bahwa “perlakuan harga pokok produk rusak, selain penyebab terjadinya produk rusak juga dipengaruhi apakah produk rusak tersebut laku dijual atau tidak laku dijual”. Uraian dari perlakuan harga pokok produk rusak tersebut di atas disajikan berikut ini:

a. Produk Rusak Tidak Laku Dijual

1.      Apabila penyebab terjadinya produk rusak bersifat normal, maka harga pokok produk rusak yang tidak laku dijual ini, akan dibebankan kepada produk selesai, yang mengakibatkan harga pokok produk selesai akan dibebankan kepada produk selesai, sehingga harga pokok produk selesai per unit akan menjadi lebih besar. Jadi, perlakuannya sama dengan produk akhir proses.

Jurnal yang dibuat adalah :

Persediaan Produk Selesai Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Bahan Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik Rp XXX

2.      Terjadinya produk rusak karena kesalahan dan produk rusak tidak laku dijual, maka harga pokok produk rusak tersebut tidak boleh diperhitungkan kedalam harga pokok produk selesai, tetapi harus dianggap sebagai kerugian, sehingga akan diperlakukan sebagai rugi produk rusak.

Jurnal yang dibuat adalah :

Rugi Produk Rusak Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Bahan Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik Rp XXX

b. Produk Rusak Laku Dijual

1.      Bila penyebab produk rusak karena kegiatan normal perusahaan, dan produk rusak tersebut laku dijual, maka hasil penjualan produk rusak tersebut dapat diperlakukan sebagai:

a.       Pengurangan harga pokok selesai

Harga pokok produk rusak dibebankan ke produk selesai, sehingga apabila produk rusak tersebut laku dijual, maka sudah sewajarnya hasil penjualan tersebut digunakan sebagai pengurangan harga pokok produk selesai.

Jurnal yang dibuat adalah :

Kas/Piutang Dagang Rp XXX

Persediaan Produk Selesai Rp XXX

b.      Pengurang semua biaya produksi.

Dengan perlakuan ini memerlukan alokasi yang adil pada setiap elemen biaya produksi pada departemen dimana terdapat produk rusak, salah satu metode dapat digunakan alokasi berdasarkan perbandingan setiap elemen biaya.

Jurnal yang dibuat adalah :

Kas/Piutang Dagang Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Bahan Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Tenaga Kerja Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik Rp XXX

c.       Pengurang biaya overhead pabrik

Perlakuan ini sangat mudah, tetapi perlu diperhitungkan bahwa apabila hasil penjualan produk rusak cukup besar sedang jumlah biaya overhead pabrik kecil, dimungkinkan biaya overhead akan minus.

Jurnal yang dibuat adalah :

Kas/Piutang Dagang Rp XXX

Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik Rp XXX

d.      Penghasilan lain-lain

Perlakuan ini paling mudah digunakan, sehingga pada laporan harga pokok produksi nantinya sama dengan apabila ada produk hilang pada akhir proses tapi tidak sesuai dengan perlakuan harga pokok produk selesai.

Jurnal yang dibuat adalah :

Kas/Piutang Dagang Rp XXX

Penghasilan lain-lain Rp XXX

2.      Produk rusak yang laku dijual dan penyebab produk rusak karena kesalahan atau disebut juga produk rusak abnormal, maka hasil penjualan produk rusak tersebut akan diperlakukan sebagai pengurang rugi produk rusak, hal ini sesuai karena harga pokok produk rusak nantinya akan dimasukkan kedalam laporan rugi-laba sebagai elemen biaya lain.

Jurnal yang dibuat untuk mencatat hasil penjualan produk rusak yang diperlakukan sebagai pengurang rugi produk rusak adalah:

Kas/Piutang Dagang Rp XXX

Rugi Produk Rusak Rp XXX

Menurut Sutrisno (2001:133) bahwa “harga pokok produk rusak diperlakukan sebagai kerugian dan dimasukkan kedalam rekening rugi produk rusak yang pada akhir periode akan masuk pada laporan rugi-laba sebagai elemen biaya lain-lain”.

PRODUK RUSAK DAN CACAT DALAM SISTEM HARGA POKOK PROSES

4/ 5

Oleh Unknown