Abdullah, F. (2004). Pemberdayaan DPRD Menuju Clean and Good Governance. Amanna Gappa, 12(3). Asshiddiqie, J. (2010). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Barlian, A. E. A. (2016). Konsistensi Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Hierarki Perundang-Undangan dalam Perspektif Politik Hukum. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 10(4), 605-622. doi: https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v10no4.801 Bunga, M. (2017). Pembentukan Peraturan Daerah dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum, 20(2), 12-25. Efendi, E. (2017). Hak Uji Materi Pemerintah terhadap Peraturan Daerah (Kajian terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XII/2015). Asy-Syir’ah, 51(1), 131-147. Kelsen, H. (2009). Teori Umum tentang Hukum dan Negara (Trans. by Raisul Muttaqien). Bandung: Nusamedia & Nuansa. Lontoh, R. L. (2019). Problems of Border Regions in Ensuring Legal Certainty Invest in Indonesia. Substantive Justice International Journal of Law, 2(2), 118-136. doi: http://dx.doi.org/10.33096/substantivejustice.v2i2.36 Moonti, R. M. (2017). Hakikat Otonomi Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum, 20(2), 26-37. Muhiddin, A. (2013). Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda). Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3(1), 1-9. doi: https://doi.org/10.26618/ojip.v3i1.53 Nasrun, R. Q., et al. (2019). Kedudukan Peraturan Daerah yang Dibatalkan oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015. Syiah Kuala Law Journal, 3(1), 95-113. doi: https://doi.org/10.24815/sklj.v3i1.12158 Natabaya, H. A. S. (2007). Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan (Suatu Pendekatan Input dan Output). Jurnal Legislasi Indonesia, 4(2), 9-17. Ruslan, A. (2003). Peraturan Daerah dan HAM dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Amanna Gappa, 11(4). Ruslan, A. (2005). Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Kualitas Produk Hukumnya (Kajian Pereda tentang Pajak dan Retribusi di Sulawesi Selatan). Amanna Gappa, 13(2). Sihombing, E. N. A. M. (2016). Problematika Penyusunan Program Pembentukan Peraturan Daerah. Jurnal Legislasi Indonesia, 13(3), 285-296. Sihombing, E. N. A. M. (2017). Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Jurnal Yudisial, 10(2), 217-234. doi: http://dx.doi.org/10.29123/jy.v10i2.147 Sobari, W., et al. (2004). Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Yogyakarta: Jawa Pos Institute of Pro Otonomi. Soekanto, S. (2006). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Solihah, R. & Witianti, S. (2016). Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Pemilu 2014: Permasalahan dan Usaha Mengatasinya. Cosmogov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2(2), 291-307. doi: https://doi.org/10.24198/cosmogov.v2i2.10010 Suharjono, M. (2014). Pembentukan Peraturan Daerah yang Responsif dalam Mendukung Otonomi Daerah. DIH: Jurnal Ilmu Hukum, 10(19), 21-37. doi: https://doi.org/10.30996/dih.v10i19.281 Suharyo, S. (2015). Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana Serta Problematikanya. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 4(3), 431-447. doi: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v4i3.15 Wignjosoebroto, S., et al. (2005). Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Institute for Local Development. Winata, M. R., et al. (2018). Legal Historis Kewenangan Pengujian dan Pembatalan Peraturan Daerah Serta Implikasinya terhadap Kemudahan Berusaha. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 7(3), 335-352. doi: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v7i3.266 Yarni, M. (2010). Fungsi Legislasi DPRD dalam Kerangka Otonomi (Studi Kasus DPRD Kota Jambi dan DPRD Kabupaten Muaro Jambi). Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 18, 1-13. Zuhro, R. S. & Prasojo, E. (Eds.). (2010). Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusinya. Yogyakarta: Penerbit Ombak dan the Habibie Center. Page 2
LANGUAGEEnglish RECREDITATION PROCESSISSNP-ISSN: 1410-9328 E-ISSN: 2614-0071 ABOUT THE JOURNALRegister PUBLICATIONPublication Ethics DOWNLOADManuscript Template in Indonesian Manuscript Template in English Originality, Copyright, and Permissions Statement Template LIVE CHATOUR TOOLSPARTNERSHIPSCOUNTER
IMPLEMENTASI FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM MEMBENTUK PEMERINTAHAN YANG BAIK (Good Governance) Agus Malkan DPRD Di Dalam Membentuk pemerintahan yang baik Menurut UU No.32 Tahun 2004 Sebagai ringkasan, komponen- komponen utama dalam penilaian kapasitas DPRD di dalam mengimplementasikan prinsip good and clean governance di kabupaten Cirebon yang ditetapkan sebagai berikut : Pelaksanaan fungsi legislasi dalam pembuatan peraturan perundang- undangan dan kebijakan lain. Berdasarkan amandemen I dan II pasal 20 ayat (1) UUD 1945, dewan perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang. Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota dewan perwakilan rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Dalam konteks daerah juga berlaku demikian yaitu dewan perwakilan rakyat daerah memegang kekuasaan membentuk peraturan daerah dan anggota dprd berhak mengajukan usul rancangan peraturan daerah. Dalam pelaksanaannya rancangan peraturan daerah dari lingkungan DPRD diatur dalam UU no.32 tahun 2004 tentang 61 pemerintahan daerah pasal 136 sampai pasal 149. Secara umum dapat disimpulkan bahwa para anggota DPRD maupun pelaku tata pemerintahan di luar DPRD merasa kapasitas dan kinerja dalam aspek legislasi tidak memuaskan. Dalam hal ini pembuatan perda inisiatif, alat kelengkapan DPRD pada umumnya belum memahami tahapan minimal yang perlu dipenuhi tahapan menimal tersebut meliputi :[1]
Dalam penyusunan perda inisiatif, alat kelengkapan DPRD yang ditugasi pada umumnya langsung mendengarkan aspirasi masyarakat atau merumuskan agenda politik daerah dan langsung menyusun draf raperda. Oleh karena itu, perda yang dihasilkan seringkali mengalami masalah, baik karena tidak dapat diterapkan oleh pemerintah daerah, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau ditolak oleh masyarakat. kapasitas teknik dalam penyusunan perda inisiatif yang relatif rendah terbukti dengan minimal atau tidak adanya perda inisiatif bermutu yang dihasilkan oleh DPRD. Kinerja seperti ini tentu mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi legislasi, sebagian besar DPRD menyandarkan pada usulan-usulan raperda yang dibuat oleh pemerintah daerah. Terhadap usulan-usulan ini, sebagian besar DPRD mengaku tidak mampu memberikan telaah-telaah yang dapat mengimbangi argumentasi yang disampaikan oleh pemerintah daerah. Pada umumnya, DPRD akan melaksanakan prosedur standar untuk menindaklanjuti usulan raperda pemerintah dan memutuskannya menjadi perda untuk dilaksanakan. Jika dipandang perlu, DPRD akan mengundang kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat untuk memberikan masukan. Ringkasnya, keterbatasan DPRD dalam melakukan analisis kebijakan menjadikan lembaga ini tidak mampu memberikan tanggapan dan rekomendasi kebijakan yang memuaskan, bahkan untuk kalangan DPRD sendiri. Pelatihan- pelatihan teknis dalam legislative drafting yang diperoleh selama ini dinilai tidak dapat memberikan banyak dukungan dalam penyusunan dan penyelesaian peraturan perundang-undangan di daerah. Pelaksanaan fungsi anggaran dalam penganggaran daerah. Penganggaran sebagai salah satu fungsi eksplisit DPR dan DPRD merupakan baru dalam tata keparlemenan di Indonesia. Sebelum reformasi, lembaga legislatif hampir tidak mampu memberikan tanggapan terhadap RAPBN/RAPBD yang disampaikan oleh pemerintah, bahkan untuk merubah angka.[2] Lembaga legislatif berfungsi sebagai tukang stempel terhadap RAPBN/RAPBD yang diusulkan oleh pemerintah. Dalam membahas RAPBD yang disampaikan oleh pemerintah daerah, DPRD belum mendasarkan pada elemen-elemen dasar bagi penyusunan anggaran. Elemen dasar yang pertama adalah pertimbangan konteks anggaran yang bersumber dari : [3]
Ketiga elemen ini membentuk kerangka dasar bagi penelaahan RAPBD yang diusulkan oleh pemerintah daerah. Karena kerangka dasar seperti ini tidak dirumuskan dan ditentukan terlebih dahulu, hampir semua DPRD menyebutkan bahwa mereka juga tidak mempunyai analisis dasar terhadap masing-masing mata anggaran sektoral yang disampaikan pemerintah daerah. Padahal analisis kebijakan sektoral dasar seperti ini. penting sekali bagi para anggota panitia anggaran dan anggota-anggota lain dalam menanggapi berbagi usulan yang disampaikan oleh Pemerintah. Analisis sektoral untuk masing- masing mata anggaran kemudian dicerminkan terhadap kerangka dasar yang telah disusun sebelumnya. Dengan mekanisme ini, pembahasan subtantif terhadap RAPBD dengan seluruh komponennya menjadi mungkin dilaksanakan dan pertimbangan-pertimbangan yang lebih bersifat politis-ekonomis dikesampingkan atau setidaknya mempunyai bungkus kebijakan yang elegan. Karena praktek-praktek justru menunjukan bahwa perimbangan politik mengemuka, DPRD seringkali mendapat kritik pedas dari publik sebab dinilai sekedar memperjuangkan kepentingan anggota secara perorangan atau kelompok pendukungnya. Ketika berhadapan dengan pemerintah daerah, DPRD melakukan pengkajian melalui dua tingkat, yaitu pembahasan bersama dengan kepala pemerintahan atau dengan mengundang instansi terkait jika dirasa perlu. DPRD terutama yang dari panitia anggaran, telah mendapatkan pelatihan atau sosialisasi tentang anggaran kinerja (performance budgeting). Pelatihan ini dinilai sangat bermanfaat bagi anggota DPRD, karena mereka mempunyai kapasitas yang baik dalam menanggapi RAPBD yang diusulkan oleh pemerintah daerah. Namun demikian semua Anggota DPRD menyatakan bahwa pelatihan tersebut tidak mencukupi dibandingkan dengan kebutuhan untuk melaksanakan fungsi penganggaran yang bermutu dan memuaskan semua pihak. Salah satu indikasi yang disebutkan adalah hingga kini DPRD belum mampu menyajikan RAPBD bandingan, yang dirumuskan berdasarkan pada kerangka dasar kebijakan penganggaran dan pembiayaan daerah. Lebih kurang menguntungkan lagi, beberapa DPRD justru menyerahkan kabijakan penganggaran kepada pemerintah daerah, sejauh kepentingan pembiayaan DPRD dan politik ekonomi lainnya terpenuhi. Beberapa anggota DPRD menyebutkan bahwa mekanisme penganggaran dan pembiayaan kelembagaan internal DPRD pun membutuhkan upaya perbaikan dan penyempurnaan. Berdasarkan pada kesepakatan antara DPRD dan pemerintah daerah, sejumlah anggaran tertentu dialokasikan bagi DPRD dan struktur pendukung yang ada, agar dapat melaksanakan semua fungsi dan tugas yang ditentukan. Anggaran ini dikelola oleh sekretariat DPRD. Walaupun DPRD mempunyai kewenangan yang begitu besar dalam penganggaran, namun hampir semua anggota DPRD mengeluhkan minimnya anggaran yang dapat disediakan oleh pemerintah daerah untuk DPRD. Hal ini disebutkan sebagai alasan dasar mengapa DPRD tidak mampu melaksanakan semua fungsi dan tugasnya secara memuaskan. Pelaksanakan fungsi pengawasan terhadap keseluruhan kebijakan pemerintahan daerah dan berbagai program-program pembangunan daerah. Pelaksanaan fungsi pengawasan sering memicu persoalan karena tidak ada batasan yang jelas. Pengawasan adalah penerjemahan dari oversight, yang berbeda dengan pengendalian (control), pengawasan teknis (supervision), pengawasan langsung (inspection), pemeriksaan (audit), penyidikan (investigation), atau pengujian (examination). Karena tidak ada definisi dan batas yang jelas itulah, DPRD sering bertindak di luar kewenangannya dan masuk ke daerah kewenangan lembaga pemerintahan yang lain. Hal ini sering dikritik baik oleh pemerintah daerah, media lokal atau pun lembaga masyarakat sipil. Pelurusan dan penyesuaian tentu diperlukan agar DPRD mampu melaksanakan fungsi ini dengan tepat dan efektif. Pada tingkat pertama, DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan kebijakan- kebijakan Pemerintahan dan pembangunan nasional di daerah. Fungsi ini tampaknya justru paling jarang dilaksanakan karena beberapa alasan. Pertama, DPRD merasa bahwa kebijakan tertentu adalah wewenang pemerintah pusat, misalnya yang berkenaan dengan manajemen sektor kehutanan. Padahal DPRD dalam posisi untuk mendukung pengawasan atas implementasi kebijakan ini. Kedua, berbagai peraturan Perundang- undangan dan kebijakan nasional harus diterjemahkan ke dalam Perda. Pelaksanaan pengawasan Perda juga dirasakan kurang memenuhi harapan, karena DPRD menganggap pelaksanaan oleh pemerintah daerah sudah mencukupi. Pada tingkat kedua, DPRD dapat mengawasi pelaksanaan program pemerintahan atau pembangunan tertentu, jika hal ini dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional dan daerah. Pelaksanaan program semacam ini dinilai mempunyai dampak kebijakan atau politik yang serius. Pengawasan pada tingkat program ini seringkali menimbulkan problematik dan rentan terhadap politisasi. Oleh karena itu, konsultasi seksama dengan pemerintah daerah diperlukan sebelum pelaksanaan pengawasan seperti ini. Pengawasan pada tingkat kegiatan atau proyek pun sebenarnya dapat dilakukan oleh DPRD, dengan beberapa alasan. Pertama, DPRD melihat indikasi penyimpangan serius dalam pelaksanaan suatu proyek dan pemerintah daerah tidak melakukan tindakan korektif. Kedua, proyek itu bertentangan dengan atau berdampak buruk terhadap peraturan perundang- undangan, kebijakan atau program pemerintahan dan pembangunan. pengawasan pada tingkat ini diakui paling sering dilakukan karena dinilai yang paling mudah. DPRD pada awalnya mendasarkan pada laporan masyarakat mengenai penyimpangan proyek. Jika memang terbukti adanya penyimpangan serius, DPRD melakukan peninjauan langsung ke proyek, membahasnya dengan pemerintah daerah atau meminta keterangan lanjutan dari pelaksana proyek. Dalam hal pelaksanaan pengawasan, dalam implementasinya terdapat kecenderungan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan DPRD sudah menyangkut penyelenggaraan pemerintahan. Seyogianya hak pengawasan DPRD hanya terbatas pada aspek kebijakan, bukan menyangkut aspek teknis penyelenggaraan pemerintahan. Dengan perkataan lain, pengawasan yang dilakukan lebih bersifat politis, bukan bersifat administartif.[4] [1] Agung Djojosoekarto, Dinamika dan Kapasitas DPRD dalam Tata Pemerintahan Demokratis, hal. 296-297. [2] B.N.Marbun, DPR RI Pertumbuhan dan cara Kerjanya, Jakarta,1999, hal. 252. [3] Agung Djojosoekarto, Op.cit, hal. 298 [4] Haw Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 55 |