Bagaimana cara mewujudkan Islam Wasathiyah sebagai Rahmatan lil ALAMIN

Islam rahmatan lil ‘alamin  sebagai dikemukakan Fuad Jabali (2011:13) adalah memahami al-Qur’an dan Hadis untuk kebaikan sesama manusia, alam dan lingkungan, serta memberikan kesejukan, kedamaian, ketenteraman, dan keharmonisan dalam kehidupan kepada seluruh umat manusia, dalam bentuk kasih sayang, kemanusiaan, tolong menolong, dan saling menghormati. Islam rahmatan lil ‘alamin   merupakan pesan al-Qur’an surat Al-Ambiya, (21) ayat 107: “Tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Barangkali kita sepakatan untuk menjadikan mainstreiming Islam rahmatan lil ‘alamin ini sebagai model, standar, rujukan dan referensi oleh para penganutnya. Dengan cara demikian Islam semakin nyata kontribusinya dalam mewujudkan situasi yang kondusif yang memungkinkan berbagai aktivitas masyarakat dapat berjalan dengan baik. Jika keadaan ini dapat diwujudkan maka Islam akan semakin dihormari, disegani, dan diminati. Dan dengan cara demikian pula, Islam tidak dijadikan sebagai “berhala” yang hanya digenggam, dianut, dipuja-puja, tapi tidak pernah dimintakan manfaatnya bagi kehidupan. Islam rahmatan lil alamin ini sering dibicarakan para tokoh agama dan pimpinan masyarakat, namun belum dikelola dan diintegrasikan dalam kehidupan, sehingga masih terhenti pada sebatas wacana belakang. Jika ini yang terjadi, maka Islam rahmatan lil alamin bisa jadi semacam “berhala.” Tulisan ini ingin menawarkan sebuah cara mengelola Islam rahamatan lil alamin agar menjadi nilai yang hidup (living values) dan budaya hidup (living culture) dengan terlebih dahulu menunjukkan dalil-dalil normatif dan bukti-bukti Islam rahmatan lil ‘alamin dalam sejarah.

Akar Normatif & Historis

Islam rahmatan lil alamin memiliki akar normatif dan historis yang cukup kuat. Secara normatif Islam rahmatan lil alamin  dapat dijumpai pada misi pokok ajaran Islam tentang Iman, Islam dan Ihsan. Iman yang ada dalam dada dan keyakinan bukan hanya sebuah pengakuan dalam hati dan diucapkan dengan kata-kata, melainkan harus disertai dengan pengalaman. Iman tanpa pengamalan adalah iman yang hampa, palsu dan iman yang penuh dusta. Iman harus menumbuhkan sikap al-amanah (bertanggung jawab atas tugas yang dipercayakan), al-amin (dapat dipercaya), dan aman. Itulah sebabnya dalam berbagai ayat al-Qur’an dan matan hadis, kata iman sering disanding dengan melakukan amal shalih, menyerahkan amanat pada ahlinya, dan berbuat kepada sesama. Iman sering dihubungkan dengan kesadaran menciptakan lingkungan yang baik, seperti menyingkirkan duri di jalan, membersihkan lingkungan dari kotoran, menyantuni orang yang kelapan. Iman harus menjadi faktor pemersatu ummat manusia, pembebas dari perbudakan, mensublimasi amal duniawi menjadi amalan yang berdimensi ukhrawi (ibadah), dan penyelemat manusia dari berbagai penindasan. Iman harus menjadi rahmat bagi seluruh alam. Iman selanjutnya dikaitkan dengan iman kepada malaikat, kitab, para rasul, hari akhir qadla dan qadar Tuhan. Iman kepada malaikan diharapkan dapat menumbuhkan sikap merasa diawasi sehingga tidak berani melakukan pelanggaran, dan dapat pula berarti meniru sifat dan cara-cara kerja para malaikat. Iman kepada kitab juga dipahami sebagai komitmen untuk memurnikan ajaran Tuhan di muka bumi. Iman kepada para rasul harus dipahami sebagai meneladani sifat dan kepribadian para Rasul dan menjalankan misinya. Iman kepada hari akhir diharapkan dapat menumbuhkan sikap bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dikerjakan. Dan Iman kepada qadha dan qadar dipahami  sebagai adanya batas-batas yang tidak dapat dilampaui manusia. Demikian pula kosakata Islam bermula dari kokata salima yang berarti selamat, aman dan damai. 

Demikian pula kosakata Islam bermula dari kosakata salima yang berarti selamat, damai  dan sentosa. Kosakata salima kemudian dirubah menjadi kosakata aslama yang berarti beserah diri, berpegang teguh pada aturan yang benar sehingga terbebas dari kekacauan hidup. Islam selanjutnya diwujudkan dalam rukunnya yang lima:shahadat, shalat, puasa, zakat dan haji, Shahadat harus menumbuhkan sebuah komitmen dan ucapan yang sejalan dengan perintah Tuhan, misalnya selalu berkata benar. Shalat harus menumbuhkan sikap kepatuhan, ketundukan, dan kerendahan hati. Ucapan salam ke kanan dan ke kiri di akhir shalat misalnya, harus dipahami sebagai sebuah komitmen untuk menyebarkan ajaran kedamaian. Itulah sebabnya, ketika Rasululllah mendengar bayi menangis pada saat beliau sedang mengimami shalat, shalatnya itu dipercepat, karena khawatir bayi tersebut sedang terkena musibah. Dan itu pula sebabnya, seorang imam shalat dianjurkan agar bersikap mu’tadlilan, yaitu pertengahan, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, sehingga semua jama’ah dapat mengikutinya. Demikian pula puasa harus menumbuhkan rasa simpati dan empati kepada orang yang senantiasa dalam kelaparan. Itulah sebabnya di akhir puasa, setiap orang harus mendemontrasikan kepeduliaan sosialnya dengan membayar zakat fithrah, atau membayar fidyah bagi orang tua renta yang tidak kuat berpuasa, atau membayar kifarah (denda) bagi orang yang melanggar ketentuan puasa. Zakat fithrah, fidyah dan kifarat tersebut diwujudkan dalam  bentuk bantuan sosial, berupa makanan pokok untuk kaum dhu’afa.  Selanjutnya zakat harus menumbuhkan sikap kepedulian sosial dan terbiasa membebaskan diri dari sifat egoistis, individualistis, tamak, kikir dan mementingkan diri. Haji harus menumbuhkan sikap kepedulian sosial dan persaudaraan dengan seluruh ummat manusia dari berbagai belahan bumi.

Islam rahmatan lil alamin juga dapat dijumpai pada ucapan isti’adzah (a’udzu billahi min al-syaithan al-rajim=aku berlindung diri dari godaan syaithan yang terkutuk) pada awal bacaan al-Qur’an. Bacaan isti’adzah tersebut harus menumbuhkan sebuah pengertian agar tidak mengotori visi, misi, tujuan ajaran al-Qur’an dengan hal-hal yang diingini syaithan, syahwat dan hawa nafsu, seperti menyebarkan  fitnah, kebencian, permusuhan dan peperangan. Demikian pula ucapan basmallah (bi ismi Allah al-rahman dan al-rahim=dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang)  pada awal membaca al-Qur’an dan melakukan suatu pekerjaan harus menumbuhkan sikap, bahwa hanya dengan anugerah dan fasilitas yang Allah berikanlah kita dapat melakukan suatu perbuatan, serta hanya dengan landasan kasih sayanglah setiap perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian perbuatan tersebut tidak akan bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Selanjutnya Islam rahmatan lil alamin secara historis dapat ditemukan dalam hampir seluruh kebijakan Rasulullah SAW. Husain Haikal, dalam Sejarah Hidup Muhammad, (1992: 161, 389, dan 540), misalnya menyebutkan sejumlah kebijakan Nabi Muhammad SAW seperti Piagam Madinah, Perjanjian Hudaibiyah, Khutbah Haji Wadla, pembagian harta rampasan perang, dan lainnya yang mengandung misi kemanusiaan. Piagam Madinah yang dibuat dan disepakati oleh semua golongan penduduk Madinah (Islam, Yahudi, Majusi, Nasrani, dan berbagai suku Arab) sebanyak 47 pasal berisikan ajaran yang memberikan pengakuan terhadap perbedaan agama, suku bangsa dan budaya, menghormati agama dan keyakinan, bebas menentukan jalan hidup, bebas bepergian, harus saling memberikan pengamanan, mematuhi pimpinan, menyelesaikan masalah secara musyawarah yang diwakili oleh setiap golongan secara proporsional, mengakui kesalahan, dan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Selanjutnya Perjanjian Hidaibiyah (tahun ke-6 H.) antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum Kafir Quraisy sebagai disebut al-Mibarakfury dalam Sirah Nabawiyah,  (1997:437) walaupun isinya kurang menguntungkan untuk tujuan jangka pendek, namun amat strategis dan menguntungkan untuk tujuan jangka panjang. Isi Perjanjian Hudaibiyah dianggap kurang menguntungkan untuk tujuan jangka pendek, karena di dalamnya memuat hal-hal yang dianggap merugikan kaum Muslimin, seperti keharusan mengembalikan kaum kafir Quraisy kepada kelompoknya jika tertangkap, tapi tidak ada keharusan kaum kafir Quraisy mengembalikan orang Islam yang mereka tangkap. Perjanjian Hudaibiyah itu juga dilarang mencantumkan kalimat basmalah, dan syahadat. Isi Perjanjian Hudaibiyah yang terkesan sekuler ini hampir saja ditolak oleh pengikut Nabi Muhammad SAW, dan bahkan Nabi Muhammad SAW dibiarkan berjuang sendirian. Namun demi mencapai  tujuan jangka panjang, yakni menciptakan keamanan, ketenteraman dan kedamaian, Nabi Muhammad SAW rela meninggalkan simbol-simbol keagamaan dalam Perjanjian Hudaibiyah tersebut. Selanjutnya Khutbah Haji Wada’ juga berisi pesan yang terkait dengan menghormati, menjunjung tinggi dan menghargai hak-hak asasi manusia, seperti larangan saling membunuh, mengambil  harta yang bukan miliknya, menunaikan amanah, larangan praktik riba dan berbuat aniaya, serta harus menghormati kaum wanita, istri dan keluarga.

Selain itu Islam rahmatan lil alamin juga terlihat dalam praktek yang dilakukan orang-orang Anshar terhadap orang-orang Muhajirin. Abdurrahman bin ‘Auf dari kalangan Muhajirin pernah ditawarkan berbagai fasilitas oleh Said al-Anshari dari penduduk Madinah. Karena demikian kasih sayangnya, hingga Sa’id al-Anshari rela menceraikan salah seorang isterinya jika  Abdurrhman bin ‘Auf membutuhkan pendamping hidup. Namun, Abdurrahman bin Auf lebih memilih ditunjukkan tempat berjualan daripada diberi harta dan isteri. Tidak berapa lama Abdurrahman bin ‘Auf berhasil mengembangkan usaha bisnisnya sehingga ia memperoleh harta dan isteri atas usahanya sendiri. 

Selanjutnya Islam rahmatan lil alamin dapat pula dilihat pada perlakuan yang diperlihatkan pengikut Rasulullah SAW yang memperlakukan para tawanan perang Badar dengan memberikan makanan yang kualitasnya lebih bagus daripada orang yang menawannya. Islam rahmatan lil alamin juga dapat dijumpai pada Sikap Umar ibn Khattab  menaklukan Yerussalem. Pada saat itu Umar bin Khattab melarang umat Islam merusak atau merampas tempat ibadah penganut Yahudi (Sinagog), melarang menyakiti anak-anak, kaum wanita, merusak rumah penduduk, tanaman, binatang, dan sebagainya. Islam rahmatan lil alamin juga terlihat  ketika ummat Islam memberikan kebebasan dan toleransi beragama yang luar biasa kepada mayoritas penduduk Spanyol untuk memeluk agama Katholik dan zaman Kekhalifahan Islam di Spanyol di abad klasik, dan memberikan kebebasan kepada mayoritas penduduk India untuk menganut agama Hindu pada zaman pemerintahan Dinasti Moghul di abad pertengahan.

Namun demikian, pelaksanaan Islam rahmatan lil alamin sering kali menghadapi kendala ketika berhadapan dengan orang-orang yang lebih memilih tujuan jangka pendek, mementingkan kelompoknya, menganggap dirinya paling benar, sikap tertutup, ambisius, egoistik dan realistik, seperti yang diperlihat kelompok eksterim, radikal, dan eksklusif. Sikap yang demikian itu misalnya dijumpai oleh Rasulullah SAW pada saat membagikan harta rampasan Perang Hunain. Menurut al-Waqidi, pada saat perang Hunain, umat Islam memperoleh 6000 tawanan perang, 24.000 unta dan 40.000 kambing. Rasulullah dipaksa oleh para perajuritnya dari Bani Tamim, Bani Fizarah dan Bani Sulay agar membagikan harta rampasan perang tersebut. Mereka berbeda pandangan dengan Raulullah yang menginginkan agar harta rampasan perang tersebut dibagikan kepada para mu’allaf (orang yang imannya belum kokoh), dan membebaskan para tawanan perang dengan memberikan pengertian betapa beratnya jika seseorang harus berpisah dengan keluarga, anak istri, kampung halaman, usaha dan sebagainya. Sikap Nabi Muhammad ini ditentang keras oleh sebagian pengikutnya itu, hingga jubah Nabi hampir koyak. Namun Nabi tetap sabar, tidak terpancing emosi, sambil terus memberikan pengertian, hingga akhirnya mereka menerima kebijakan Nabi Muhammad SAW. Sikap Nabi Muhammad SAW yang santun dan bijak dalam menghadapi sikap yang demikian itu diabadikan dalam al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 159 yang artinya: “Maka disebabkan rahmat Allah, engkau berlaku santun kepada mereka; seandainya engkau bersikap kasar dan keras hati, niscaya mereka akan menjauh darimu, maka ma’afkanlah, mintakan ampunlah mereka, dan berdamailah dalam segala urusan, dan apabila sudah membulatkan tekad, maka bertawakkalah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.”

Mengola Islam rahmatan lil alamin juga seringkali berhadapan dengan model pendidikan agama Islam di sekolah yang belum benar-benar terintegrasi dengan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang wasathiyah (moderat), dan Islam Nusantara. Pendidikan Islam yang diajarkan di sekolah masih cenderung doktriner, normatif, a-historis, a-sosiologis, kurang sejalan dengan tuntutan masyarakat (social expectation), mengulang-ulang, dan cenderung mempertahankan pendapat lama (defensif). Islam rahmatan lil alamin di sekolah harus dikelola dengan cara mengintegrasikannya dengan nilai-nilai demokrasi, multikultural, dan humanistik. Diakui bahwa di dalam Mata Pelajaran PAI kelas 10 sudah ada uraian tentang prinsip musyawarah, berprasangka baik, dan contoh dakwah Nabi Muhammad di Mekkah dan Madinah yang bertahap dan tidak memaksa, serta uraian tentang berfikir kritis dan demokratis dalam kelas 12. Namun guna mendukung Islam rahmatan lil alamin prinsip demokrasi ini harus ditambah dengan nilai al-ta’arruf (saling pengertian yang mendalam), (Q.S. al-Hujurat, 49:13), al-Syura (musyawarah) (Q.S. Al-Syuura, 42:38 dan Ali Imran, 3:15), al-Ta’awwun (tolong menolong), (Q.S. al-Maidah, 5:2), al-mashalahat al-ummah (Q.S. al-‘Ashr, 103:1-3), al-‘adl (berlaku adil), (Q.S. al-Nisa, 4:58 dan al-An’am, 6:152), al-taghyir (mau berubah dan menerima pendapat orang lain yang lebih baik) (Q.S. al-Ra’d, 13:11).

 Islam rahmatan lil alamin juga dapat dilakukan dengan memasukan nilai-nilai multikultural dalam pendidikan agama Islam di sekolah. Diakui bahwa pada kelas 10 sudah ada ajaran tentang berprasangka baik (husn al-dzann), dan sikap toleransi sebagaimana dijumpai pada kelas 11. Namun hal ini masih perlu ditambah dengan ajaran tentang  kalimatun sawa (selalu mencari titik temu atau persamaan dan menjauhi perbedaan), (Q.S. Ali Imran, 3:114); al-amanah (saling menjaga amanah dan menjauhi sikap berkhianat) (Q.S. al-Nisa, 4:58); husn al-dzann (berbaik sangka-positive thingking) (Q.S. al-Hujurat, 49:12), al-takaful dan al-ta’awwun (sikap saling meringankan beban dan tolong menolong) (Q.S. al-Maidah, 5:2), al-salam dan al-rahmah (saling menyelamatkan dan kasih sayang (Q.S. al-Ambiya, 21:107), dan al-afwu (saling mema’afkan). (Q.S. Ali Imran, 3:133-134).

Selanjutnya mengelola Islam rahmatan lil alamin dapat pula dilakukan dengan memasukan nilai-nilai humanistik ke dalam pendidikan agama Islam di sekolah. Diketahui, bahwa dalam pendidikan agama di kelas 10 sudah ada ajaran tentang Asma al-Husna (Nama-nama Tuhan yang Baik), serta praktek ekonomi Islam yang menjauhi riba, monopoli dan sebagaimana sebagaimana terdapat pada Pendidikan Agama Islam kelas 10. Namun materi ini masih perlu diperkaya dengan  nilai al-luthf wa al-rahmah (simpati dan empati). (Q.S. al-Hasyr, 59:9); al-ukhuwah (persaudaraan) (Q.S. al-Hujurat, 49:10); laa taklif maa laa yuthaq (tidak membebani sesuatu di luar kesanggupan) (Q.S. al-An’am, 6:152), al-tasamuh (toleransi dan saling menghargai-menghormati), (Q.S. al-Baqarah, 2:143), al-Tawazun (seimbang) (Q.S. al-Baqarah, 2:30), al-musawwa (persamaan) (Q.S. al-Hujurat, 49:13), al-Hurriyah (kebebasan), (Q.S. al-Nisa, 4:142), dan al-tawasuth (sikap moderat). (Q.S.Al-Baqarah, 2:143).

Krisis Sosial dan Kemanusiaan

Dewasa ini terdapat sejumlah  krisis sosial dan kemanusiaan yang cukup memprihatinkan dan harus segera diakhiri. Pertama, semakin meluasnya paham NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah).  Gerakan NIIS yang radikal dan anarkis dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, seperti menculik, meneror, membunuh, dan tindakan biadab lainnya ini harus dihentikan pergerakannya dan dibuat kehilangan pengikut. Kedua, adanya perbudakan dan perdagangan manusia (trafficking) yang menjatuhkan martabat manusia seperti barang dagangan bahkan seperti binatang. Ketiga, munculnya gelombang pengungsi Rohingya yang mencapai ribuan orang  di Indonesia dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Keempat, belum meredanya konflik senjata di antara negara-negara di Timur Tengah yang telah menelan korban harta benda dan nyawa manusia yang cukup besar. Kelima, semakin merebaknya peredaran Narkoba dengan modusnya yang amat variatif dan telah menelan korban harta benda dan nyawa manusia dalam jumlah besar. Semua krisis sosial dan kemanusiaan ini harus dicarikan solusi pemecahannya. Wawasan Islam rahmatan lil alamin harus dimasyarakatkan dan dikelola sedemikian rupa guna memecahkan berbagai krisis tersebut. Beberapa model pengelolaan Islam sebagaimana dikemukakan di atas masih perlu terus dikembangkan. Sebuah lembaga pengembangan dan implementasi Islam rahmatan lil alamin nampaknya perlu dibentuk. Dengan cara ini, Islam semakin memberikan kontribusi bagi penciptaan kehidupan yang makin humanis, sejuk, harmonis, aman, dan damai.