Arsitektur yang digunakan pada bangunan Masjid Sunan Ampel bercorak

Bagi masyarakat Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, sebutan Wali Songo memiliki makna khusus yang dihubungkan dengan keberadaan tokoh-tokoh yang berperan penting dalam usaha penyebaran Islam pada abad ke-15 dan ke-16 masehi.

Sosok Wali Songo tertua yang berperan besar dalam pengembangan Islam di Jawa dan tempat lain di Nusantara adalah Sunan Ampel, putra Syaikh Ibrahim as-Samarkandi.

Dalam syiar dakwahnya, Sunan Ampel mendirikan masjid sebagai pusat pendidikan di daerah yang dikenal dengan nama Ampeldenta atau Ampel.

Kini, masjid yang didirikannya pun masih kokoh berdiri dan menjadi tujuan peziarah dari dalam dan luar negeri. Lokasinya terletak di Desa Ampel, Kecamatan Semampir, Surabaya.

Tahun 1972, Masjid Agung Sunan Ampel telah ditetapkan sebagai ikon wisata religi oleh Pemerintah Kota Surabaya kala itu.

Masjid Agung Sunan Ampel didirikan sekitar tahun 1421 masehi, ada pula yang berpendapat tahun 1450 masehi dengan gaya arsitektur Jawa kuno dan nuansa Arab Islami.

Luas keseluruhan Masjid Sunan Ampel saat ini mencapai empat hektare setelah renovasi terakhir pada 1993. Perluasan masjid ini terjadi dalam beberapa tahap. Mulanya tahun 1926 oleh Adipati Regent R. Aryo Adiningrat seluas 22,7 x 20,55 meter. Lalu pada 1954 oleh KH Manaf Murtadho seluas 25,7 x 50 meter. Selanjutnya diperluas lagi menjadi 11 x 120 meter yang batu pertamanya diletakkan oleh KH Idham Chalid.

Baca juga:  Nabi yang "Leyeh-Leyeh" di Masjid

Arsitektur yang digunakan pada bangunan Masjid Sunan Ampel bercorak
Tiang-tiang utama (Elik Ragil/alif)

Di dalam Masjid Sunan Ampel terdapat 16 tiang utama yang terbuat dari kayu jati asli. Empat tiang yang menjulang setinggi 17 meter tampil mencolok di tengah. Tiang berdiri tegak lurus tanpa sambungan dan menjadi penyangga pokok atap bersusun tiga di atasnya.

Desain atap berupa tajuk tumpang tiga memang menjadi ciri umum masjid-masjid kuno di Jawa, yang melambangkan Islam, iman, dan ihsan.

Di bagian luar, Masjid Agung Sunan Ampel dikelilingi lima gapura dengan corak khas Hindu-Budha namun telah diadaptasikan dengan nilai-nilai Islam dan arsitektur Jawa. Dalam historiografi lokal dituturkan, lima gapura itu merefleksikan rukun Islam yang lima. Di sebelah selatan masjid dinamai gapura “Munggah” yang berarti naik, sebagai simbol rukun Islam yang kelima yakni haji.

Dalam tradisi Jawa, orang yang pergi ke Baitullah untuk berhaji seringkali disebut munggah haji. Setelah melewati gapura munggah, pengunjung aka disuguhi gapura “Poso” di selatan masjid. Poso artinya puasa  yang merupakan rukun Islam yang keempat.

Masuk ke halaman masjid, peziarah akan melihat menara menjulang. Bangunan menara ini belum pernah dipugar alias masih asli sejak dibangun Sunan Ampel abad ke-14 lalu.

Gapura yang ketiga adalah gapuro “Ngamal”, yang merefleksikan rukun Islam yang ketiga, salat yang harus menghadap kiblat. Baru ketika akan ke makam Sunan Ampel, terdapat gapura masuk yang akrab disebut gapuro “Paneksen”, yang berarti kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.

Baca juga:  Harlah Lesbumi ke-56: Kebudayaan Pesantren dan Fungsi Politisnya

Masjid Sunan Ampel merangkap fungsi sebagai tempat salat dan pusat pendidikan. Ia dikenal sebagai masjid tertua kedua di Surabaya setelah Masjid Rahmat Kembang Kuning yang juga dibangun oleh Sunan Ampel alias Raden Muhammad Ali Rahmatullah. Berawal dari pondokan kecil, lalu menjelma masjid.

Sejarawan Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo (2012) menjelaskan, Masjid Sunan Ampel—termasuk juga Masjid Rahmat Kembang Kuning—sengaja dibangun untuk mengembangkan jumlah dukuh ke berbagai thani, sebutan desa di era Majapahit. Dukuh atau padepokan kala itu dikenal sebagai tempat pendidikan lokal berciri Hindu-Budha dan Kapitayan untuk mengajarkan laku spiritual.

Raden Rahmat berupaya memformulasikan nilai-nilai sosiokultural-religius yang dianut masyarakat Hindu-Budha dengan nilai-nilai Islam dalam sebuah lembaga pendidikan, hingga kelak dikenal istilah “pondok pesantren”. Masjidnya pun melahirkan Pesantren Ampeldenta yang menjadi tempat nyantri para tokoh besar seperti Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen, Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Murid-muridnya inilah yang di kemudian hari berjasa turut mengembangkan dakwah Islam di bumi Nusantara.

Selain lewat jalur pendidikan, strategi lain yang dilakukan Sunan Ampel adalah menikahkan juru dakwah Islam dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit sehingga bisa membentuk jaringan untuk lebih leluasa berdakwah.

Sunan Ampel sendiri menikah dengan Nyai Ageng Manila, Putra Arya Teja dari Tuban yang tak lain adalah menantu Arya Lembu Sura. Sehingga secara silsilah, Nyai Ageng Manila tak lain adalah cucu dari Arya Lembu Sura yang saat itu menjabat sebagai Adipati Surabaya. Tak ayal, saat beliau mangkat, kedudukannya sebagai penguasa Surabaya digantikan oleh Raden Rahmat yang tercatat sebagai Bupati Surabaya pertama.

Hingga akhir hayatnya, Sunan Ampel menjadi sosok yang dihormati. Meski demikian, tidak ada keseragaman yang mencatat kapan tahun pasti tokoh asal Champa itu wafat. Dari catatan yang ada, Sunan Ampel wafat tahun 1401 saka atau jika dikonversi ke tahun masehi adalah tahun 1479 Masehi.

Ada pula catatan wafatnya tahun 1328 saka atau tahun 1406 masehi. Meski tidak ada kepastian kapan meninggalnya Sunan Ampel, namun yang pasti hingga saat ini makamnya yang terletak di samping Masjid Sunan Ampel tak pernah sepi dari para peziarah.

Situs lain yang masih lestari adalah sumur sedalam satu meter di sebelah selatan masjid. Sekitar seribu orang berziarah pada tiap harinya. Jumlah ini meningkat beberapa kali lipat pada Kamis dan Jumat atau awal bulan Muharam, juga sebelum dan sesudah bulan Ramadan.

Arsitektur yang digunakan pada bangunan Masjid Sunan Ampel bercorak
Berzikir (Elik Ragil/alif)

tirto.id - Masjid Ampel merupakan salah satu tempat ibadah umat Islam tertua di Jawa yang berlokasi di Kota Surabaya, Jawa Timur. Dibangun pada abad ke-15 Masehi, masjid yang didirikan Sunan Ampel ini punya sejarah dan gaya arsitektur yang khas.

Berdasarkan catatan Eko Sulistyo dalam “Bentuk Sinkretisme Islam-Jawa di Masjid Sunan Ampel Surabaya” yang termuat di jurnal Mozaik (Vol. 15, No. 1, 2015:3), Masjid Ampel berperan sebagai titik awal penyebaran Islam di Jawa seiring berdirinya Kesultanan Demak.

Pendiri masjid ini adalah Sunan Ampel, salah satu Wali Songo yang berperan menyebarkan syiar Islam di Jawa. Masjid Sunan Ampel yang dibangun pada 1421 ini telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya menjadi salah satu destinasi wisata religi sejak 1972.

Pendiri dan Sejarah Masjid Ampel

Sejarah masjid ini tidak dapat dipisahkan dari nama tokoh yang menggagas pembangunannya. Tokoh tersebut bernama asli Raden Muhammad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat yang kemudian lebih dikenal sebagai Sunan Ampel.

Arsitektur yang digunakan pada bangunan Masjid Sunan Ampel bercorak

Pada abad ke-15 M, Sunan Ampel mengemban tugas dakwah agama Islam di Jawa seiring mulai melemahnya pengaruh Kerajaan Majapahit yang pernah menjadi kerajaan Hindu-Buddha terbesar.

Baca juga:

  • Sejarah Keruntuhan Kerajaan Majapahit & Prasasti Peninggalannya
  • Sejarah Kerajaan Kristen Larantuka & Kaitannya dengan Majapahit
  • Tahun Berapa Sejarah Kerajaan Majapahit Berdiri & Terletak di Mana?

Raden Rahmat diberikan tempat oleh Majapahit untuk tinggal. Majapahit kala itu memang tidak mempermasalahkan kehadiran Islam sebagai ajaran baru di wilayahnya.

Tempat tersebut bernama Ampeldenta dan menjadi lokasi penyebaran Islam pertama Raden Rahmat. Dari sinilah ia mendapat julukan sebagai Sunan Ampel berdasarkan nama tempat pertama kali ia menyebarkan ajaran Islam di Jawa.

Dikutip dari website Sistem Informasi Masjid Kementerian Agama RI, pada 1421, di tempat tersebut Sunan Ampel membangun masjid. Kala itu, ia mendirikan bangunan ini bersama dua sahabatnya, yang disebut Mbah Sholeh dan Mbah Sonhaji, serta para pengikutnya.

Selain untuk tempat ibadah, masjid ini juga dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul untuk berdiskusi perihal ajaran Islam dan dakwahnya.

Baca juga:

  • Sejarah Keruntuhan Kerajaan Demak: Penyebab dan Latar Belakang
  • Sejarah dan Profil Sunan Ampel: Wali Pendakwah di Jalur Politik
  • Sejarah Masjid Agung Demak: Pendiri, Ciri Arsitektur, & Keunikan

Gaya Arsitektur Masjid Ampel

Pembicaraan mengenai bangunan tidak lengkap tanpa mencantumkan gaya arsitektur atau modelnya. Secara umum, Masjid Sunan Ampel memadukan gaya arsitektur tiga kebudayaan, yakni Jawa Kuno, Hindu-Buddha, dan Arab (Islam).

Bahan bangunan Masjid Ampel menggunakan kayu jati. Menurut kepercayaan setempat, kayu ini mempunyai karomah. Bahkan, ada cerita bahwa Masjid Sunan Ampel tidak mengalami kerusakan kendati berada di lokasi peperangan.

Keunikan lain dari Masjid Sunan Ampel adalah terdapat menara di sebelah selatan yang menembus atap serta dasarnya yang terletak di bagian dalam.

Menurut Arif Setya Wirawan dan Bambang Setia Budi dalam “Perubahan pada Menara Masjid Sunan Ampel Surabaya Tahun 1870-2012” pada Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (2017), menara tersebut telah tiga kali diubah, yakni 1870-1900, 1910-1930, dan 2012-sekarang.

Baca juga:

  • Sejarah Masjid Saka Tunggal Kebumen: Ciri Arsitektur & Filosofinya
  • Masjid Menara Kudus: Sejarah, Pendiri, & Ciri Khas Arsitektur
  • Sejarah Masjid Gedhe Kauman: Simbol Akulturasi Kraton Yogyakarta

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASJID NUSANTARA atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)


Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates