Apakah yang menyebabkan terjadinya tindak kejahatan di lingkungan masyarakat

Timbulnya kejahatan disebabkan oleh banyak hal yang melatarbelakanginya,diantaranya adalah kejahatan yang disebabkan oleh watak seseorang. Kasus yangterjadi saat ini, kemiskinan seseorang atau latar belakang lain yang menyebabkanseseorang melakukan kejahatan, namun dalam penelitian ini membahas tentangkejahatan yang disebabkan oleh kemiskinan saja, hal ini dilakukan guna membatasipembahasan penulisan yang dilakukan, yaitu berkenaan dengan “Kemiskinan SebagaiSalah Satu Penyebab Timbulnya Tindak Kejahatan”. Apabila diamati dari kedua istilah“KEMISKINAN” dan “KEJAHATAN” tersebut, kemiskinan mempunyai arti tidakberharta benda, serba kekurangan, atau perihal miskin, kemelaratan, dan kelaparan.Sedangkan kejahatan mempunyai arti perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.Wilayah hukum Kepolisian Sektor Kecamatan Talango. Faktor kejahatan yangdilatarbelakangi oleh kemiskinan seseorang sehingga melakukan kejahatan sebagaialternatif penyelesaian guna untuk memenuhi kehidupan mereka dalam menjalanikehidupannya, ini sudah terbukti atau memang ada dalam Kenyataannya. Adapunkejahatan yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah hukum Kepolisian SektorKecamatan Talango khususnya, hanya ada empat macam kejahatan, yaitu pencurian,penggelapan, penipuan, dan penganiayaan. Namun tidak menutup kemungkinankejahatan lain akan terjadi tergantung pada apa yang melatarbelakangi merekasehingga melakukan kejahatan tersebut, artinya kejahatan apa saja bisa saja terjadiselain dari kejahatan-kejahatan yang ada di wilayah hukum Kepolisian SektorKecamatan Talango.

Belum membaiknya ekonomi di tengah Pandemi Covid -19 menimbulkan keresahan dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Pasalnya, tingkat kriminalitas semakin meningkat terbukti dengan banyaknya video kriminal dan kejahatan yang tersebar luas di media sosial.

Kriminalitas adalah suatu tindakan sosial yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu yang tujuannya mencari keuntungan semata tanpa memperhatikan akibat yang diterima dari tindakannya tersebut. Contohnya adalah mencuri barang milik orang lain, penjambretan di tempat yang sepi dan sebagainya.

Terbentuknya tindakan kriminalitas di tengah masyarakat ini disebabkan beberapa faktor, baik itu dari luar maupun dari dalam individunya. Menurut Abdulsyani, ada dua faktor yang menjadi pemicu terjadinya kriminalitas, antara lain :

Faktor Dari Luar Individu (Ekstern)

Faktor dari luar individu yang bisa menimbulkan tindakan kriminalitas dibagi menjadi dua jenis yaitu karena adanya faktor media massa dan adanya tuntutan dari faktor ekonomi.

Di zaman modern sekarang ini banyak sekali kemudahan dan keuntungan yang dapat diraih melalui media sosial, namun juga dapat menimbulkan kerugian bagi sebagian orang karena adanya penyalahgunaan. Media massa dijadikan sumber informasi yang tepat, dalam hitungan menit informasi akan diperoleh seperti melalui berita online dari handphone.

Selain itu, juga banyak tindakan kriminalitas yang ditunjukan di media sosial yang akhirnya diikuti oleh sebagian orang, sehingga diperlukannya kewaspadaan agar terhindar dari hal tersebut.

Derasnya arus globalisasi tidak bisa dibendung, menawarkan segala fasilitas yang serba mudah, cepat, dan otomatis. Untuk memperoleh itu semua tentunya diperlukan sebuah biaya dan ketidaksamaan ekonomi dalam suatu wilayah dapat menimbulkan tindakan kriminalitas.

(Baca juga: Permasalahan Sosial sebagai Akibat Globalisasi)

Contohnya, seorang yang hidupnya dikatakan golongan ekonomi menengah ke bawah ingin terlihat glamour didepan umum melakukan berbagai hal apa saja termasuk yang negative seperti mencuri.

Faktor Dari Dalam (Intern)

Sifat umum dari individu, dalam diri masing-masing individu mempunyai sifat antara lain, yaitu :

  • Tingkah laku dan tingkat intelegensi individu dipengaruhi oleh pendidikan
  • Kebutuhan rekreasi
  • Posisi individu dalam lingkungan masyarakat
  • Perubahan tingkat usia individu dapat memicu perubahan perilaku sehingga tidak sedikit dapat melakukan tindakan kejahatan

Sifat khusus dalam individu, adalah psikologis dari individu. Perilaku menyimpang dapat muncul karena perbedaan sifat dari masing-masing individu. Dibawah ini ada beberapa sifat khusus yang ada dimasyarakat yang dapat menimbulkan perilaku menyimpang, yaitu :

  • Rendahnya mental dari masing-masing individu dapat mempengaruhi daya intelegensia. Contohnya, seseorang yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi dapat menyesuaikan dengan masyarakat, namun sebaliknya jika seseorang intelegensinya rendah akan mudah terpengaruh dan akan melakukan perilaku menyimpang.
  • Masalah sosial dapat dipengaruhi oleh tingkat emosional dan dapat menimbulkan penyimpangan. Timbulnya penyimpangan ini dikarenakan ketidakseimbangan atau emosi tidak bisa dikendalikan. Contoh, saling meledek antar siswa beda sekolah dan akhirnya dapat menimbulkan tawuran.
  • Orang yang terkena sakit jiwa memiliki sikap antisosial. Orang yang jiwanya terganggu dapat melakukan tindakan penyimpangan, walaupun dibawah kesadarannya seperti melempar batu kepada orang lain.

Mengapa Orang Melakukan Kejahatan?

Oleh: Margaretha

Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

Apakah yang menyebabkan terjadinya tindak kejahatan di lingkungan masyarakat

Apa yang menyebabkan sebagian individu bisa melakukan kekerasan, penipuan, dan merugikan orang lain sedang yang lain tidak melakukan kejahatan pada orang lain? Tulisan pendek ini akan mengulas definisi, bentuk dan beberapa penjelasan Psikologi yang sering digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan

Definisi kejahatan

Ketika berbicara tentang kejahatan, sebenarnya banyak hal yang dapat diulas. Paling tidak dimulai dengan definisi kejahatan. Kejahatan sering diartikan sebagai perilaku pelanggaran aturan hukum akibatnya seseorang dapat dijerat hukuman. Kejahatan terjadi ketika seseorang melanggar hukum baik secara langsung maupun tidak langsung, atau bentuk kelalaian yang dapat berakibat pada hukuman. Dalam perspektif hukum ini, perilaku kejahatan terkesan aktif, manusia berbuat kejahatan. Namun sebenarnya “tidak berperilaku” pun bisa menjadi suatu bentuk kejahatan, contohnya: penelantaran anak atau tidak melapor pada pihak berwenang ketika mengetahui terjadi tindakan kekerasan pada anak di sekitar kita.

Adapula perspektif moral. Perilaku dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki 2 faktor: 1) mens rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan 2) actus reus (perilaku terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya: pembunuhan disebut kejahatan ketika pelaku telah memiliki niat menghabisi nyawa orang lain, serta ide dan pelaksanaan perilaku pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan dari orang lain. Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi diluar kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat tidur atau tidak sadar, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai kejahatan, karena orang dengan gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008).

Bentuk kejahatan

Selanjutnya, ketika membicarakan kejahatan kita juga perlu mengidentifikasi pelaku dan korban. Pelaku adalah orang yang melakukan tindakan melanggar hak dan kesejahteraan hidup seseorang, sedangkan korban adalah orang yang terlanggar hak dan kesejahteraan hidupnya. Pada kasus pidana, identifikasi akan berkaitan dengan pembuatan tuntutan dan pertanggungjwaban hukum. Walaupun begitu, terkadang tidak mudah mengidentifikasi pelaku dan korban, terutama pada kasus dimana pelaku adalah korbannya juga, contohnya: pelaku prostitusi sebenarnya juga adalah korban dari perilakunya.

Kejahatan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa macam: kejahatan personal (pelaku dan korban kejahatan adalah sama), interpersonal (ada pelaku yang merugikan orang lain), dan kejahatan sosial masyarakat (efek kejahatan pelaku merugikan kehidupan orang banyak di masyarakat). Dari segi pelaksanaannya kejahatan juga bisa dibagi menjadi kejahatan terorganisir (sering disebut kejahatan “kerah putih” yang memiliki sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan kejahatan) dan tidak teroganisir (kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan dan dilakukan oleh orang yang belum punya keahlian khusus atau amatir). Secara pidana, ada beberapa contoh perilaku kejahatan: pembunuhan, tindak kekerasan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, perampasan, penipuan, penganiayaan, penyalahgunaan zat dan obat, dan banyak lagi yang lain.

Teori kejahatan

Begitu banyaknya bentuk dan macam kejahatan, maka menarik untuk mengetahui apa hal yang menyebabkan orang bisa melakukan tindak kejahatan. Sebenarnya sejak dulu manusia berusaha menjelaskan mengapa beberapa orang menjadi penjahat. Penjelasan paling awal adalah Model Demonologi. Dulu dianggap bahwa perilaku kriminal adalah hasil dari pengaruh roh jahat. Maka cara untuk menyembuhkan gangguan mental dan perilaku jahat adalah mengusir roh kejahatan, biasanya dilakukan dengan beberapa cara menyiksa, mengeluarkan bagian tubuh yang dianggap jahat (misalkan darah, atau bagian organ tubuh lainnya).

Namun dalam kajian Psikologi Forensik, dikenal beberapa pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan: Kriminologi awal (Cesare Lombroso), Psikoanalisa (Sigmund Freud), dan Teori Bioekologi-Sosial.

Cesare Lombroso adalah seorang kriminolog Italia yang pada tahun 1876 menjelaskan teori ‘determinisme antropologi’ yang menyatakan kriminalitas adalah ciri yang diwariskan atau dengan kata lain seseorang dapat dilahirkan sebagai “kriminal”. Ciri kriminal dapat diidentifikasi dengan ciri fisik seseorang, contohnya: rahang besar, dagu condong maju, dahi sempit, tulang pipi tinggi, hidung pipih atau lebar terbalik, dagu besar, sangat menonjol dalam penampilan, hidung bengkok atau bibir tebal, mata licik, jenggot minim atau kebotakan dan ketidakpekaan terhadap nyeri, serta memiliki lengan panjang. Ia menyimpulkan juga kebanyakan kejahatan dilakukan oleh laki-laki. Perempuan yang melakukan kejahatan artinya terjadi degenarasi atau kemunduran. Ia berpandangan harusnya sikap pasif, kurangnya inisiatif dan intelektualitas perempuan membuatnya sulit melakukan kejahatan.

Sigmund Freud dalam perspektif Psikoanalisa memiliki pandangan sendiri tentang apa yang menjadikan seorang kriminal. Ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego membuat manusia lemah dan akibatnya lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan. Freud menyatakan bahwa penyimpangan dihasilkan dari rasa bersalah yang berlebihan sebagai akibat dari superego berlebihan. Orang dengan superego yang berlebihan akan dapat merasa bersalah tanpa alasan dan ingin dihukum; cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah justru dengan melakukan kejahatan. Kejahatan dilakukan untuk meredakan superego karena mereka secara tidak sadar sebenarnya menginginkan hukuman untuk menghilangkan rasa bersalah.

Selain itu, Freud juga menjelaskan kejahatan dari prinsip “kesenangan”. Manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan (prinsip kesenangan). Di dalamnya termasuk keinginan untuk makanan, seks, dan kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id. Freud percaya bahwa jika ini tidak bisa diperoleh secara legal atau sesuai dengan aturan sosial, maka orang secara naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal. Sebenarnya pemahaman moral tentang benar dan salah yang telah ditanamkan sejak masa kanak harusnya bisa bekerja sebagai superego yang mengimbangi dan mengontrol Id. Namun jika pemahaman moral kurang dan superego tidak berkembang dengan sempurna, akibatnya anak dapat tumbuh menjadi menjadi individu yang kurang mampu mengontrol dorongan Id, serta mau melakukan apa saja untuk meraih apa yang dibutuhkannya. Menurut pandangan ini, kejahatan bukanlah hasil dari kepribadian kriminal, tapi dari kelemahan ego. Ego yang tidak mampu menjembatani kebutuhan superego dan id akan lemah dan membuat manusia rentan melakukan penyimpangan.

Dari perspektif Belajar Sosial, Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil proses belajar psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan pada perilaku kejahatan yang dilakukan oleh orang di sekitarnya, lalu terjadi pengulangan paparan yang disertai dengan penguatan atau reward; sehingga semakin mendukung orang untuk mau meniru perilaku kejahatan yang mereka lihat. Contohnya: jika anak mengamati orang tuanya mencuri dan memahami bahwa mencuri uang menimbulkan reward positif (punya uang banyak untuk bersenang-senang); maka anak akan mau meniru perilaku mencuri. Di sisi lain, perilaku yang tidak diikuti dengan reward atau menghasilkan reaksi negatif maka anak belajar untuk tidak melakukan; atau dengan kata lain meniru untuk tidak mengulangi agar menghindari efek negatif. Dalam perspektif ini, Bandura percaya bahwa manusia memiliki kapasitas berpikir aktif yang mampu memutuskan apakah akan meniru atau tidak mengadopsi perilaku yang mereka amati dari lingkungan sosial mereka.

Teori Sosial menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil kerusakan sistem dan struktur sosial. Seorang penjahat dari keluarga yang bercerai, mengalami masa kecil yang sulit, hidup di lingkungan sosial yang miskin dan banyak terjadi pelanggaran hukum, tidak memiliki pendidikan yang baik, memiliki gangguan fisik dan mental dan berbagai kesulitan psikososial lainnya. Dalam perspektif ini, kesannya individu dilihat sebagai pasif bentukan sistem di sekelilingnya. Namun sebenarnya pada pendekatan Bioekologis oleh Urie Brofenbenner, terdapat interaksi faktor personal (si individu itu sendiri, termasuk di dalamnya aspek kepribadian, trauma, aspek biologis) dengan faktor sistem sosial di sekelilingnya. Artinya perilaku kejahatan akan muncul sebagai interaksi antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi. Contohnya: seseorang yang memiliki gangguan kepribadian, pernah mengalami pola pengasuhan traumatis dan saat ini hidup di lingkungan yang tidak peduli hukum dapat membuatnya lebih mudah melakukan kejahatan.

Apakah semua kejahatan harus diperlakukan sama?

Kejahatan memiliki bentuk yang berbeda-beda. Bahkan perilaku kejahatan yang sama dapat didasari oleh alasan yang berbeda. Misalkan perlaku mencuri, seorang melakukannya untuk bertahan hidup, sedang yang lain untuk mencari uang sebanyak mungkin agar bisa menghindari pekerjaan sesedikit mungkin. Berbagai penjelasan teori kejahatan di atas dapat digunakan untuk memahami kasus-kasus kejahatan. Mengapa dan bagaimana perilaku kejahatan dapat muncul dalam suatu kasus kejahatan. Kepekaan dan keahlian dalam memilah-milah perspektif teori dalam menjelaskan kejahatan sangat dibutuhkan dalam mencari titik terang suatu kasus kejahatan. Dengan pemahaman tersebut, harapannya, juga bisa dipahami bagaimana masing-masing harus diperlakukan dan diberikan konsekuensi hukum serta rehabilitasi psikologisnya. Proses koreksi dan rehabilitasi perilaku kejahatan sebaiknya dilakukan berdasarkan penjelasan perilaku kejahatan yang akurat dan tepat.

Referensi:

Davies, G., Hollin, C., & Bull, R. (2008). Forensic Psychology. John Wiley; Sussex.