Apakah jumlah koki perempuan di dapur hotel lebih banyak dibandingkan laki-laki

Suara.com - Terungkap, Ini Alasan Mengapa Chef Lelaki Lebih Banyak dari Perempuan

Baik lelaki maupun perempuan yang senang memasak, menjadi chef mungkin adalah cita-cita mereka. Tapi suka penasaran nggak sih, kenapa para chef di hotel atau restoran kebanyakan diisi oleh para lelaki?

Corporate Executive Chef Prasanthi Hotel, Chef Bahran, punya pendapat soal hal ini. Menuruntya fenomena tersebut terjadi karena adanya perubahan pandangan bahwa profesi chef yang sangat menjanjian sebagai mata pencaharian.

"Mungkin karena sekarang jadi eksekutif chef itu karir yang menjanjikan, dalam hal masalah finance mereka bagus, malah lebih bagus daripada pegawai negeri, dari mulai gaji mereka tinggi. Apalagi udah jadi corporate eksekutif chef yang top level, yang memimpin seluruh eksekutif chef," ujar Chef Bahran kepada Suara.com di Antero Hotel, Jababeka 2, Cikarang, Jawa Barat, ditulis Minggu (20/10/2019).

Baca Juga: Chef Desi Berkreasi Ciptakan 4 Inovasi Menu dengan Bumbu Tradisional

Chef Bahran juga tidak menampik bahwa meski belum banyak, kini sudah bermunculan para chef perempuan yang memimpin dapur. Sayangnya kebanyakan dari mereka mengambil desk yang cukup mudah yaitu pastry and bakery.

"Ada beberapa kaya 92 persen itu lelaki. Saya di luar negeri, hampir malah 100 persen lelaki, paling ada chef pastry perempuan karena mereka cuma buat kue, buat puding macam-macam, biasa," ungkapnya.

Apakah jumlah koki perempuan di dapur hotel lebih banyak dibandingkan laki-laki
Ilustrasi chef sedang memasak di dapur. [Shutterstock]

Kemungkinan lain menurut Chef Bahran, adalah situasi dapur yang panas, penuh dengan tekanan, dan ruang kerja sempit. Hal ini membuat banyak perempuan enggan berkiprah di dapur restoran dan dapur hotel. Apalagi ada masalah chef ini akan dapat semprotan omelan, termasuk chef yang menjadi bawahannya.

"Kalau kebanyakan di dapur itu panas, harus ngomel-ngomel, kalau perempuan ngomel di dapur kayaknya kurang dapet mungkin, karena bawahannya lelaki semua, tetapi mungkin ada juga, 2 persen," tuturnya.

Sementara itu, selama ia berkeliling dunia dari hotel satu ke hotel lain di berbagai belahan dunia, untuk belajar dan berkiprah Chef Bahran tidak pernah menemukan maupun bekerjasama dengan chef yang tak lain seorang perempuan.

Baca Juga: Ingin Daging Barbeque Empuk dan Juicy seperti Buatan Chef? Ini Rahasianya

"Belum pernah menemukan di Jerman, Prancis, sama Italia chefnya lelaki semua," tutupnya.

Windratie | CNN Indonesia

Selasa, 03 Nov 2015 14:25 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Nadiya Hussain adalah pemenang 'The Great British Bake Off'. Ada juga Delia Smith, seorang penulis buku masakan best-seller, dengan penjualan lebih dari 21 juta kopi. Namun, tanggung jawab domestik masih mencegah perempuan-perempuan hebat tersebut berkarier dari keahlian kuliner mereka, klaim seorang koki perempuan terkenal.Juri program Masterchef, Monica Galetti, mengatakan, perempuan-perempuan muda yang ingin menjadikan dapur sebagai tempat bekerja mereka terpaksa melupakan ambisi menjadi koki profesional. Sebab, profesi chef yang menyita waktu sampai 16 jam sehari, nyatanya tidak sesuai untuk membangun sebuah keluarga.

“Masalahnya adalah, pada titik tertentu perempuan harus memutuskan seberapa mereka menginginkan karier tersebut atau memiliki keluarga dan menghabiskan waktu bersama keluarga,” ujar Galetti, seperti dilaporkan oleh Independent.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Itu saja. Kenyataannya, Anda harus meletakkannya sebagai yang pertama untuk melakukan yang terbaik. Saya melihat banyak koki menakjubkan, perempuan muda, masuk ke dapur dan kemudian menyerah agar bisa bersama pasangan mereka dan membangun keluarga. Apakah laki-laki bisa melakukannya untuk seorang perempuan? belum tentu.”Galetti, yang hingga saat ini bekerja di restoran Le Gavroche London mengatakan,  “Karier saya menjadi yang nomor dua selama tujuh tahun terakhir. Saya ingin menjadi ibu yang mengurus anak saya sendiri,” kata Galetti yang rencananya akan membuka restoran sendiri tahun depan.Dia melanjutkan, alasan yang membuat banyak perempuan tertinggal di bidang kuliner, bukanlah soal diskriminasi gender di dapur. Melainkan tentang pilihan para wanita itu sendiri. Galleti mengatakan tidak ada diskriminasi gender di dapur-dapur terkemuka.“Kita semua sama. Sekali Anda mengenakan jaket tersebut, Anda adalah seorang koki. Ini bukan tentang gender, melainkan kemampuan memasak,” katanya.Dalam artikel yang sama, juri Masterchef, Marcus Wareing, menggambarkan disiplin militer dalam kehidupan dapur. “Ketika saya mengenakan baju koki saya, itu adalah seragam saya, dan saya menghormatinya.”Namun, Wareing mengatakan, jumlah perempuan yang bekerja di restoran terkemuka kian bertambah. Dia memuji tokoh-tokoh perintis, seperti Angela Hartnett, koki Michelin Star yang menjalankan restoran Murano di London.“Beberapa koki terbaik di perusahaan saya adalah perempuan. Mereka membawa keseimbangan yang luar biasa dan pendekatan cerdas. Satu-satunya koki perempuan yang saya ingat mulai dari muda, yang lulus dari tes waktu, adalah Angela Harnett.”

(win/les)

LIVE REPORT

LIHAT SELENGKAPNYA

Mubadalah.id – Selama ini kita selalu dikotak-kotakkan antara pekerjaan laki-laki dan perempuan. Pekerjaan rumah identik dengan perempuan, dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan sebagainya. Sedangkan pekerjaan di luar rumah, yaitu pekerjaan yang menghasilkan uang identik dengan laki-laki karena dianggap bertanggung jawab untuk mencari nafkah dalam keluarga. Lantas bagaimana dengan kegiatan memasak di dapur rumah dan dapur hotel atau restauran?

Dulu saat saya kuliah di prodi Tata Boga salah satu kampus di Malang, mayoritas mahasiswanya adalah perempuan. Lantas saya bertanya pada teman laki-laki saya, apakah orang tua mereka mengijinkan untuk kuliah di bidang kuliner ini. Jawaban mereka beraneka ragam, ada yang didukung penuh, ada orang tua yang pasrah karena tidak tahu minat dan bakat anaknya, dan ada yang tidak disetujui hanya karena laki-laki kok kerjanya di dapur.

Semasa perkuliahan, kami tidak mendapatkan perlakuan berbeda hanya karena kami perempuan ataupun laki-laki. Selama praktikum, dari perencanaan, belanja, memasak, dan evaluasi, dosen tidak pernah membedakan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, perbedaan itu muncul ketika kami diharuskan magang di sebuah hotel ataupun restauran.

Salah satu teman saya yang magang di hotel berbintang lima di kawasan perkotaan Malang mengaku bahwa teman saya yang berjenis kelamin laki-laki menjadi anak kesayangan para chef senior, dan selalu mendapatkan tanggung jawab di Hot Kitchen (dapur bagian memasak hidangan utama yang memiliki peralatan memasak cukup besar). Walaupun sistem magang bergilir, akan tetapi para perempuan mendapatkan bagian di Cool Kitchen (seperti membuat dessert atau minuman) dan Pastry/Bakery.

Pun demikian dengan saya, magang di salah satu hotel berbintang empat di Kawasan Kota Batu, saya mendapatkan tugas yang dikerjakan oleh cook helper yakni memotong sayuran dan menyiapkan semua bahan yang hendak dimasak oleh Chef. Jadi, yang memegang wajan dan sudip untuk meramu masakannya tetap laki-laki, sedangkan kami para perempuan hanya menyiapkannya. Untuk terjun pembuatan hidangan makanan dari proses persiapan hingga finishing perempuan hanya dipercaya di tempat pastry/bakery, dan cool kitchen sama seperti hotel-hotel yang lain.

Pada saat breakfast, di beberapa hotel biasanya menyediakan live cooking atau stand khusus di samping menyediakan buffet. Pada saat pembagian job untuk live cooking, atau menjaga stand dianjurkan atau bahkan diharuskan perempuan yang mengerjakannya, sebab perempuan sebagai representasi juru masak hotel yang cantik dan menarik sehingga banyak yang tertarik untuk mengambil makanan di stand atau tempat live cooking kami saat breakfast.

Bukti bahwa perempuan hanya dinilai dari penampilan dan diragukan kemampuannya ada pada acara kompetisi memasak di salah satu stasiun televisi. Salah satu jurinya adalah perempuan yakni Chef Renatta. Ia kerap kali menjadi trending tentang kecantikannya, parasnya, bentuk tubuh, bahkan hingga kisah asmaranya. Seperti artikel-artikel yang pertama kali muncul ketika kita search Chef Renatta pasti yang keluar adalah tentang kecantikannya, penampilan yang menarik, dan lain sebagainya mengenai fisik, akan tetapi jarang sekali tentang kemampuan memasaknya. Walaupun ada, namun artikel ini masih kalah dengan artikel-artikel yang mengupas soal fisik Chef Renatta.

Hal itu tidak terjadi pada Chef Renatta saja, akan tetapi pada juru masak perempuan. Ketika kita search chef perempuan atau koki perempuan maka yang keluar adalah artikel mengenai chef perempuan yang curi perhatian, chef perempuan yang berkarisma, dan lain sebagainya.

Dilansir dari artikel suara.com alasan laki-laki lebih mendominasi di dapur hotel atau restauran adalah karena tekanan bekerja di hotel sangat tinggi, dituntut perfeksionis dan higienis. Selain itu juga, peralatan di dapur terutama di Hot Kitchen rata-rata besar dan berat, biasanya digunakan untuk memasak dalam jumlah porsi yang besar. Sedangkan perempuan dianggap emosional dan lemah sehingga tidak akan mampu menerima tekanan tinggi, dan tidak akan kuat untuk menggunakan peralatan yang relatif besar di dapur.

Tentu saja stereotip tersebut sangat merugikan perempuan. Sebagai mahasiswa perempuan yang magang di kitchen hotel, kami jadi tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar membuat masakan hidangan utama dalam jumlah porsi yang besar. Sehingga pengalaman kami kurang dibandingkan laki-laki yang diberi tanggung jawab untuk terjun dalam proses membuat makanan.

Perempuan bukan makhluk emosional, bukan makhluk lemah, ataupun bekerja hanya untuk membantu suami. Perempuan juga mampu bekerja secara profesional dalam tekanan dan kondisi apapun, dibuktikan dengan beberapa kasus menjelang menstruasi, perempuan masih mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Padahal menjelang menstruasi emosi perempuan suka diaduk-aduk akibat aktivitas hormon mereka.

Perempuan itu bukan makhluk yang lemah hanya dengan alasan peralatan dapur yang terlalu besar dan berat. Sebenarnya solusi peralatan berat itu ada yakni dengan membawanya menggunakan troli, ataupun perempuan dan laki-laki bekerjasama dalam mengangkat peralatan tersebut, tidak kemudian tanggung jawab sepenuhnya milik laki-laki.

Perempuan juga harus mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam meraih cita-cita dan berkarir. Perempuan bekerja bukan semata-mata untuk membantu suami sehingga dianggap tidak butuh jenjang karir bahkan diupah dengan harga minim, akan tetapi perempuan bekerja karena pilihan sadar mereka. Sebagian perempuan yang lain bekerja adalah bagian dari diri atau cita-cita mereka. []