Apa yang terjadi jika seseorang menuntut hak lebih besar daripada kewajiban

Apa yang terjadi jika seseorang menuntut hak lebih besar daripada kewajiban

konflik adalah salah satu dampak yang terjadi jika hak dan kewajiban tidak seimbang. (unsplash/Sushil Nash)

adjar.id – Adjarian, apa yang terjadi jika hak dan kewajiban tidak seimbang?

Hak dan kewajiban merupakan dua hal yang melekat dalam diri manusia.

Dalam pelaksanaannya, hak dan kewajiban ini tidak bisa dipisahkan karena hak bisa terpenuhi jika kewajiban sudah dilaksanakan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu yang telah ditentukan oleh undang-undang dan aturan.

Sementara kewajiban adalah sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan, dan keharusan.

Jadi, kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap orang sebagai salah satu kewajiban.

Nah, jika kita sudah melaksanakan kewajiban ini, kita akan mendapatkan hak yang sudah ditentukan.

Sehingga, hak dan kewajiban saling terikat dan memiliki hubungan sebab akibat karena keduanya berhubungan.

Lalu, apa yang terjadi jika hak dan kewajiban tidak seimbang?

Yuk, kita cari tahu jawabannya berikut ini, Adjarian!

Hak dan Kewajiban Tidak Seimbang

Baca Juga: 18 Contoh Hak dan Kewajiban Orang Tua terhadap Anak


Page 2

Apa yang terjadi jika seseorang menuntut hak lebih besar daripada kewajiban

konflik adalah salah satu dampak yang terjadi jika hak dan kewajiban tidak seimbang. (unsplash/Sushil Nash)

Adjarian, dalam pelaksanaannya, hak dan kewajiban harus dilaksanakan secara seimbang.

Hal ini sangat penting dalam membantu kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.

Sehingga, manusia tidak boleh selalu menuntut tentang haknya dan mengabaikan kewajibannya.

Jika pelaksanaan hak dan kewajiban ini dilakukan dengan tidak seimbang, maka bisa menimbulkan beberapa dampak.

Berikut beberapa dampak hak dan kewajiban tidak dilaksanakan dengan seimbang, di antaranya:

1. Kehidupan Kurang Harmonis

Pelaksanaan hak dan kewajiban yang tidak seimbang akan membuat kehidupan sosial menjadi kurang harmonis.

Hal ini terjadi karena manusia lebih sering untuk menuntut haknya daripada melaksanakan kewajibannya.

Sehingga, kewajibannya dalam masyarakat menjadi terbengkalai dan membuat hak orang lain dilanggar.

2. Pelanggaran Hak dan Pengingkaran Kewajiban

Berbagai kasus pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban bisa terjadi karena adanya pelaksanaan hak dan kewajiban yang tidak seimbang.

Baca Juga: 17 Contoh Hak dan Kewajiban Anak di Rumah


Page 3

Apa yang terjadi jika seseorang menuntut hak lebih besar daripada kewajiban

konflik adalah salah satu dampak yang terjadi jika hak dan kewajiban tidak seimbang. (unsplash/Sushil Nash)

Hasilnya, seseorang akan melanggar hak milik orang lain dan tidak mempedulikan kewajibannya.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya kasus pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban dalam masyarakat.

3. Hak Tidak Terpenuhi

Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban membuat seseorang ingin mendapatkan haknya.

Terkadang hal ini dilakukan dengan berbagai cara, termasuk melanggar hak milik orang.

Sehingga, banyak hak yang tidak terpenuhi sebagaimana mestinya karena diambil oleh orang lain.

4. Menimbulkan Ketidakadilan

Adanya pelaksanaan hak dan kewajiban yang tidak seimbang bisa menimbulkan terjadinya ketidakadilan dan kecemburuan dalam kehidupan.

Hal inilah yang jika terus-terusan terjadi bisa menimbulkan perpecahan, permusuhan, dan konflik dalam masyarakat.

Nah, itu tadi Adjarian, dampak yang terjadi jika hak dan kewajiban tidak seimbang dalam pelaksanannya.

Coba Jawab!

Apa yang dimaksud hak dan kewajiban?

Petunjuk: Cek halaman 1.

Baca Juga: Apa Saja Hak dan Kewajiban dalam Kehidupan Sehari-hari?

Apa yang terjadi jika seseorang menuntut hak lebih besar daripada kewajiban

Apa yang terjadi jika seseorang menuntut hak lebih besar daripada kewajiban
Lihat Foto

KOMPAS.com/Gischa Prameswari

Ilustrasi kewajiban atau hak

KOMPAS.com - Hak dan kewajiban merupakan dua hal yang dimiliki manusia. Keduanya tidak bisa dipisahkan atau diambil alih.

Hak berkaitan dengan suatu hal yang akan didapat seseorang. Sedangkan kewajiban adalah suatu hal yang harus dilakukan seseorang.

Dalam kehidupan manusia, hak dan kewajiban masih memiliki sejumlah perdebatan. Utamanya soal mana yang harus didapat atau dilakukan terlebih dahulu.

Ada orang yang menganggap kewajiban harus diutamakan, tetapi ada pula yang beranggapan jika hak harus didapat terlebih dahulu.

Jadi, manakah yang harus didahulukan antara hak dan kewajiban?

Baca juga: Definisi Hak dan Kewajiban Asasi Manusia Menurut Para Ahli

Pengertian hak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hak adalah milik, kepunyaan, kewenangan seseorang, atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu (karena sudah diatur dalam peraturan atau perundang-undangan).

Dikutip dari buku Hukum Hak Asasi Manusia (2017) karya Widiada Gunakaya, hak merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan milik manusia yang dilindungi hukum. Tiap manusia mempunyai haknya masing-masing. Salah satu contohnya Hak Asasi Manusia (HAM).

Dalam KBBI, kewajiban diartikan sebagai sesuatu yang diwajibkan atau harus dilaksanakan. Kewajiban mengharuskan manusia melakukan suatu hal sesuai dengan yang telah disepakati atau memang diwajibkan.

Melansir dari buku Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses (2019) karya Kasdin Sihotang, kewajiban adalah tindakan yang harus dilakukan sebagai bentuk tuntutan untuk mendapatkan hal yang diinginkan.

Baca juga: Apa Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki?

Mana yang lebih dahulu?

Hak pasti didapatkan manusia. Sedangkan kewajiban harus dilakukan manusia. Hak merupakan kepunyaan atau kewenangan seseorang. Kewajiban adalah suatu hal yang wajib atau harus dilaksanakan.

Pada dasarnya, kewajiban harus didahulukan sebelum mendapat hak. Artinya kita harus melakukan suatu hal untuk bisa mendapatkan apa yang menjadi hak kita. Contohnya bekerja (sebagai bentuk kewajiban) untuk mendapat uang (sebagai bentuk hak).

Namun, dalam beberapa kondisi tertentu, kita bisa mendapatkan hak kita terlebih dahulu sebelum melakukan kewajiban. Walaupun hal ini jarang terjadi atau dapat kita temui.

Contohnya ketika berobat ke dokter, kita berkonsultasi dengan dokter (sebagai bentuk hak), setelah itu kita harus membayar biayanya (sebagai bentuk kewajiban).

Ada baiknya membiasakan diri untuk melakukan apa yang menjadi kewajiban kita terlebih dahulu, sebelum menuntut hak kita.

Baca juga: Hak dan Kewajiban Terhadap Lingkungan

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Beberapa waktu lalu, Saya berkesempatan untuk beraudiensi secara langsung dengan jajaran manajemen salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama di Kota Malang terkait adanya permasalahan klaim gaji yang diajukan oleh salah satu pegawai. Klaim terjadi karena pegawai bersangkutan belum pernah menerima gaji sejak tercatat secara resmi sebagai pegawai perguruan tinggi tersebut. Sedangkan pihak institusi berkeberatan untuk membayarkan gaji pegawai tersebut dengan alasan pegawai bersangkutan tidak melaksanakan tugas. Tampak disini terjadi perbenturan pelaksanaan hak dan kewajiban antara pegawai dengan unit kerjanya.

Pada awal tahun 2016 Perguruan tinggi tersebut menerima alih tugas Pegawai Negeri Sipil dari Pemerintah Daerah. Proses alih tugas ini, secara yuridis formal, telah tuntas dengan diterbitkannya Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 00140/KEP/AU/12001/2016 tanggal 31 Desember 2015 serta Keptusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 1653/2.2/KP/2016 tanggal 29 Pebruari 2016.

            Ke dua keputusan tersebut membawa implikasi bagi pihak Perguruan Tinggi  maupun PNS bersangkutan. Bagi institusi, berhak atas seluruh kinerja PNS yang bersangkutan dalam rangka mendukung pelaksanaan tusinya serta berkewajiban atas pemenuhan hak-hak kepegawaian PNS bersangkutan. Sedangkan bagi PNS bersangkutan berkewajiban mematuhi seluruh ketentuan institusi serta memberikan kinerja terbaiknya bagi terlaksananya tusi institusi  serta berhak memperoleh hak-hak kepegawaian sebagaimana ketentuan yang berlaku.

 Hak Versus Kewajiban

Sebagaimana deskripsi diatas, pada kenyataan lapangan tidaklah sejalan. Sejak awal tertuntaskannya proses alih tugas (tahun 2016), ternyata PNS bersangkutan belum pernah melaksanakan tugas secara riel dengan alasan masih dalam proses penuntasan pendidikan Dokter Spesialis hingga awal tahun 2020. Dalam kurun waktu lebih kurang empat tahun tersebut, pihak institusi telah melaksanakan komunikasi secara intens dengan PNS yang bersangkutan agar segera bertugas sebagaimana keputusan status kepegawaian yang bersangkutan. Hal ini dilakukan, karena pihak Perguruan Tinggi berpendapat bahwa pelaksanaan pendidikan Dokter Spesialis yang dilaksanakan oleh PNS tersebut tidak memperoleh persetujuan dari pihak institusi. Sehingga PNS dimaksud tetap diwajibkan oleh institusi untuk melaksanakan tugas kedinasan. Namun demikian, PNS bersangkutan menyampaikan keberatan atas keputusan penugasan tersebut yang di nilai tidak sesuai dengan kompetensinya sebagai seorang Dokter Spesialis. Di sisi lain, selaku institusi pemerintah yang memiliki kewajiban serta kewenangan dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM), pihak Perguruan Tinggi juga tidak pernah mengambil “langkah tegas” terkait dengan permasalahan ini. Akhirnya pada Bulan Pebruari 2020, PNS bersangkutan mulai aktif bertugas pada Perguruan Tinggi tersebut serta mengajukan klaim agar pihak institusi membayarkan gajinya sebagai PNS mulai awal tahun 2016 hingga 2020 yang memang belum pernah diterima. Sementara pihak Perguruan Tinggi berkeberatan atas klaim tersebut dengan argumentasi bahwa PNS bersangkutan tidak pernah masuk kerja dalam kurun waktu klaim tersebut.

  Berkaitan dengan situasi tersebut, terdapat beberapa aspek yang dapat dicermati, setidaknya terdapat dua aspek yang berkaitan dengan pokok permasalahan yaitu aspek pengelolaan sumber daya manusia dan aspek finansial. Aspek pengelolaan sumber daya manusia, secara spesifik berkaitan erat dengan aktivitas penegakkan disiplin pegawai yang menjadi kewajiban serta kewenangan dari institusi/unit kerja. Sedangkan aspek finansial berkaitan dengan ketentuan penggajian/kompensasi finansial kepada PNS.

   Disiplin Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2010 diartikan sebagai kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Sehingga seluruh aktivitas penegakkan disiplin dapat diartikan sebagai segenap upaya institusi guna menjaga kedisiplinan pegawai yang berada dalam pengelolaannya. Adapun secara teknis, sebagaimana pengaturan pada Peraturan Pemerintah tersebut, dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan tingkat kesalahan/pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh pegawai. Mulai dari hukuman disiplin tingkat ringan, sedang, hingga berat. Peraturan Pemerintah ini ibarat “pisau bermata dua”, karena tidak saja mengatur sanksi bagi pegawai yang melakukan tindak pelanggaran disiplin semata, namun juga memberikan sanksi kepada pimpinan yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan penegakkan disiplin namun tidak dan/atau lalai dalam melaksanakan kewenangannya. Sehingga jika terjadi kondisi terdapat pimpinan yang tidak dan/atau lalai dalam melaksanakan kewenangannya guna melaksanakan penegakkan disiplin, maka pimpinan tersebut akan di sanksi sebagaimana seharusnya sanksi tersebut dijatuhkan kepada pegawai yang berada di bawah kepemimpinannya.

   Berkaitan dengan aspek finansial yaitu pembayaran gaji pegawai, banyak ahli yang mengemukakan definisi gaji, salah satunya sebagai berikut “Gaji atau upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan, dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar persetujuan atau perundang-undangan, serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan termasuk tunjangan, baik karyawan itu sendiri maupun keluarganya (Sonny, 2003: 141).” Beberapa komponen terdapat dalam definisi tersebut antara lain imbalan, pengusaha, karyawan, pekerjaan, dan uang. Secara sederhana gaji adalah imbalan yang diberikan oleh pegusaha kepada karyawan atas pekerjaan/prestasi/kinerja yang dilaksanakan oleh karyawan. Sehingga proses pemberian gaji dimulai terlebih dahulu dengan penyerahan/pelaksanaan prestasi/kinerja oleh penerima pekerjaan kepada pemberi pekerjaan. Sedangkan tujuan pemberian gaji itu sendiri, menurut pendapat para ahli antara lain menjalin ikatan kerja sama secara formal, tercapainya kepuasan, membangkitkan motivasi, meminimalisir terjadinya kondisi labour turn over, serta pendisiplinan pegawai (Hasibuan:2001).

   Kembali pada kasus diatas, mengingat status pegawai pada institusi tersebut adalah PNS, maka seluruh ketentuan terkait dengan pelaksanaan hak serta kewajiban sebagai PNS juga berlaku untuk pegawai bersangkutan, demikian pula hal nya dengan pihak institusi yang juga memiliki hak serta kewajiban yang berkaitan permasalahan yang terjadi. Berkaitan dengan penggajian bagi seorang PNS, bahwasannya aspek legal formal PNS lah yang menjadi dasar dalam pemberian gaji. Aspek ini ditentukan dengan adanya surat keputusan pengangkatan sebagai PNS. Surat Keputusan inilah yang menjadi dasar legal formal bagi belanja negara berupa belanja pegawai (gaji). Sehingga konsekuensi lebih lanjut dengan diterbitkannya surat keputusan dimaksud, maka secara legal formal seseorang berhak memperoleh gaji dari pemerintah. Pada kasus diatas, maka secara legal formal, pegawai yang mengajukan klaim atas gaji yang belum pernah diterima sudah benar. Namun demikian, dari sisi institusi/unit kerja, secara de facto bahwa pegawai tersebut tidak pernah melaksanakan tugas sesuai kewajiban yang seharusnya dilaksanakan (selama 4 tahun). Sehingga hal dimaksud dijadikan argumentasi oleh institusi untuk tidak membayarkan klaim yang diajukan.

   Pegawai bersangkutan mengajukan klaim gaji karena berstatus PNS aktif dan belum pernah terputus atas status tersebut. Sementara pihak institusi/unit kerja berargumentasi bahwa pemberian gaji tidak sekedar bersandar pada status aktif sebagai PNS, tetapi juga wajib melaksanakan tugas aktif/berkinerja. Pada situasi seperti ini, baik pihak pegawai yang mengajukan klaim (lebih kurang sebesar Rp 140 juta an) maupun pihak institusi/unit kerja sama-sama memiliki kelemahan argumentasi. Bagi pihak pegawai, klaim diajukan semata-mata karena belum pernah terputusnya status kepegawaian (PNS) dan pihak institusi tidak “rela hati” membayarkan gaji hanya didasarkan pada kenyataan pegawai bersangkutan tidak pernah melaksanakan kewajiban dalam kurun waktu empat tahun tanpa dilakukan tindakan penegakan disiplin kepada pegawai bersangkutan.

   Kondisi pengajuan klaim seperti ini seharusnya tidak terjadi jika saat awal pegawai yang bersangkutan tidak melaksanakan tugas, sebagai salah satu kewajibannya, sudah dilaksanakan langkah-langkah penegakkan disiplin. Namun demikian pihak manajemen Institusi/unit kerja “abai” atas kondisi ini. Klaim atas gaji dimaksud, dalam situasi ini, secara esensi, memiliki potensi “merugikan” keuangan Negara. Berpotensi “merugikan” keuangan negara karena intitusi, sebagai representasi dari Negara, tidak memperoleh prestasi/hasil atas pengeluaran Negara yang telah dilakukan. Sikap “abai” menjadi celah potensi merugikan keuangan Negara. Sikap “abai” dari pihak memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewenangan “pengamanan” keuangan negara dalam bentuk aktivitas pendisiplinan pegawai yang dimanfaatkan oleh pihak lain melaksanakan/menuntut pemenuhan hak nya, maka sudah sewajarnya jika pihak yang memiliki kewenangan diberikan sanksi.

   Di sisi lain, pengaturan terkait dengan penggajian bagi PNS menegaskan bahwa penggajian tersebut melekat dengan status pengangkatan PNS yang dikuatkan dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang serta tidak dapat “diputus” jika tidak dilaksanakan serangkaian tindakan untuk memutusnya, dalam kasus ini serangkaian tindakan penjatuhan hukuman disiplin (secara spesifik hukuman disiplin tingkat berat yaitu Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai PNS). Sehingga dari pihak pegawai tetap memiliki landasan legal formal untuk “menuntut” pemberian hak nya yaitu berupa gaji PNS dalam kurun waktu yang bersangkutan tidak bekerja

Simpulan

Berdasarkan uraian diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa baik pihak pegawai maupun institusi sama-sama berada pada posisi “bersalah” dalam kasus klaim gaji ini, pihak pegawai “keukeuh” dengan pendirian bahwa yang bersangkutan memiliki landasan hukum untuk “menuntut” hak nya, sementara pihak institusi juga bersih kukuh dengan pendirian tidak akan menuntaskan hak pegawai karena tidak ada kinerja yang diterima.

Klaim yang terjadi ini, dari sisi pengelolaan keuangan Negara, berpotensi “merugikan”  keuangan Negara karena uang Negara yang dikeluarkan tidak diiringi dengan prestasi yang seharusnya diterima. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara ditegaskan bahwa belanja negara didasarkan prestasi/hasil pekerjaan/kinerja yang diterima. Oleh karena itu menjadi penting bagi para pimpinan untuk tidak bersikap “abai” atas kewenangan manajerial yang dimiliki sebagai konsekuensi atas amanah yang diemban sebagai pimpinan. Dari sisi pegawai sudah seharusnya juga menyadari bahwa pelaksanaan hak adalah wajar manakala juga diiringi dengan pelaksanaan kewajiban secara seimbang.

Sedangkan dari sisi regulasi, menurut penulis, perlunya reformulasi pengaturan terkait penggajian bagi PNS yang melekat dengan statusnya, dalam artian jika terjadi kondisi (sengketa) sebagaimana deskripsi diatas, maka kepentingan pihak institusi selaku representasi dari Negara seharusnya lebih dikedepankan, mengingat negara memiliki “amanah” yang jauh lebih besar dan esensial yaitu mengelola uang negara secara prudent guna mensejahterakan seluruh rakyat. Sehingga seluruh tindakan atau bahkan sikap pribadi yang “cenderung” berpotensi merugikan Negara (secara spesifik merugikan dari sisi finansial) dapat di cegah atau bahkan dieliminir. Sedangkan bagi para pimpinan institusi/unit kerja wajib lebih meningkatkan pemahaman serta ketrampilan manajerialnya dalam rangka pengelolaan SDM dalam seluruh aspek guna memunculkan sikap aware akan urgensi dan tanggungjawab pengelolaan SDM sebagai konsekuensi pelaksanaan amanah yang di emban. Oleh karena itu, judul tulisan ini seharusnya juga tidak boleh terjadi di negeri tercinta ini apapun bentuknya……”Jangan pernah lelah mencintai negeri ini” (Sri Mulyani Indrawati-Menteri Keuangan R.I.)