Apa dampak dari pemberontakan PETA di Blitar terhadap bangsa Indonesia

tirto.id - Sejarah pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar, Jawa Timur, terjadi pada masa akhir pendudukan Jepang atau beberapa bulan sebelum kemerdekaan Indonesia. Lantas, apa penyebab peristiwa pemberontakan PETA di Blitar dan bagaimana nasib sang pahlawan, Supriyadi?

Wilayah Indonesia yang semula dijajah Belanda mulai diduduki Jepang atau Dai Nippon sejak tahun 1942 seiring kekalahan di Perang Asia Timur Raya yang merupakan bagian dari Perang Dunia II.

Perjanjian Kalijati yang ditandatangani tanggal 8 Maret 1942 di dekat Subang, Jawa Barat, menjadi tanda bahwa Belanda menyerah tanpa syarat. Maka dari itu, Belanda harus menyerahkan wilayah Indonesia kepada pemerintah militer Jepang.

Sejarah Dibentuknya Pembela Tanah Air (PETA)

Salah satu cara Jepang untuk menarik minat bangsa Indonesia adalah dengan membentuk berbagai organisasi militer dan semi militer yang melibatkan rakyat pribumi. Beberapa di antaranya adalah Heiho, Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, juga PETA.

Tujuan pembentukan organisasi-organisasi militer maupun semi militer tersebut adalah untuk mendukung militer Jepang dalam upaya mempertahankan diri dari serangan pasukan Sekutu, termasuk Belanda, yang berkeinginan merebut wilayah Indonesia kembali.

Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA dibentuk pada 3 Oktober 1943. Pembentukan PETA sebenarnya merupakan usulan dari pihak Indonesia. Melansir Api Sejarah Jilid II (2006) yang disusun Ahmad Mansyur Suryanegara, keinginan membentuk PETA didukung penuh oleh Gatot Mangkoepradja.

Baca juga:

  • Sejarah Organisasi Semi Militer Masa Pendudukan Jepang
  • Sejarah Perjanjian Kalijati: Latar Belakang, Isi, & Tokoh Delegasi
  • Sejarah Organisasi Militer di Masa Pendudukan Jepang

Gatot Mangkoepradja sendiri adalah salah satu tokoh pergerakan nasional. Pada 4 Juli 1927, ia turut membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI) bersama Ir. Sukarno dan sejumlah tokoh lainnya. Gatot Mangkoepradja juga ikut ditangkap pada 1929 dan dipenjara oleh Belanda bersama Sukarno.

Dalam struktur PETA, dikenal tingkatan pangkat yaitu Daidanco (Komandan Batalyon), Cudanco (Komandan Kompi), Shodanco (Komandan Peleton), Budanco (Komandan Regu), dan Giyuhei (Prajurit Sukarela)

PETA dijadikan tentara teritorial untuk mempertahankan Jawa, Bali, dan Sumatera oleh Jepang. Hal itu sebagai langkah antisipasi apabila pasukan Sekutu menyerang.

Saat itu, Jepang mendapat tekanan dengan kemungkinan serangan dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, hingga Belanda yang berada di garis depan pertempuran Asia Pasifik yang menjadi rangkaian Perang Dunia II.

Nantinya, PETA berperan besar dalam perang mempertahankan kemerdekaan RI, dan menjadi bagian penting dari riwayat pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Baca juga:

  • Dirgahayu HUT TNI 5 Oktober: Urutan Sejarah BKR hingga ABRI
  • Sejarah Latar Belakang Pembentukan PETA dan Tujuannya
  • Apa Itu Romusha di Masa Penjajahan Jepang, Tujuan, dan Dampaknya?

Penyebab Pemberontakan PETA di Blitar dan Tokohnya (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Pemberontakan PETA di Blitar yang mencapai puncaknya pada 14 Februari 1945 dipelopori oleh Supriyadi (ejaan lama: Soeprijadi). Ia adalah anggota PETA berpangkat shodancho. Dibentuknya PETA justru telah menghadirkan semangat nasionalisme dan sikap patriot di antara pemuda Indonesia, termasuk Supriyadi.

Supriyadi merasa resah dengan nasib rakyat Indonesia di bawah pendudukan pemerintah Jepang. Banyak orang yang dijadikan pekerja paksa (romusha), dibebani pajak tinggi, bahkan dirampas hasil pertaniannya. Perlakuan tentara Jepang terhadap kaum perempuan Indonesia juga menjadi alasan kebencian Supriyadi terhadap bangsa penjajah itu.

Di dalam PETA sendiri juga muncul perlakuan diskriminasi. Prajurit pribumi atau orang Indonesia diwajibkan memberi hormat kepada tentara Jepang, sekali pun orang Jepang itu berpangkat lebih rendah.

Baca juga:

  • Sejarah Jugun Ianfu pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia
  • Sejarah Gerakan 3A: Propaganda Jepang Demi Simpati Rakyat Indonesia
  • Sejarah PETA di Zaman Pendudukan Jepang: Tugas, Tokoh, & Tujuan

Lantaran berbagai hal itulah, tulis Nino Oktorino dalam Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia (2013), Supriyadi kemudian menghimpun pasukannya dan merencanakan perlawanan terhadap Jepang.

Tanggal 14 Februari 1945 di Blitar yang menjadi tempat penugasan Supriyadi, aksi pemberontakan atau perlawanan PETA terhadap Jepang dilakukan. Beberapa tentara Jepang tewas akibat gerakan ini. Pasukan PETA pimpinan Supriyadi juga berhasil membawa banyak perlengkapan dan logistik, termasuk persenjataan.

Sayangnya, Jepang langsung bertindak cepat yang membuat Supriyadi gagal menggerakkan kesatuan lain untuk ikut bergabung dengannya. Jepang mengirim pasukan untuk memburu Supriyadi dan para pengikutnya.

Beberapa tentara PETA yang mendukung Supriyadi ditangkap dan diadili di Jakarta. Total ada 68 orang yang ditangkap, 8 orang dihukum mati, dan 2 orang dibebaskan. Namun, di antara mereka tidak ada Supriyadi.

Baca juga:

  • Sejarah Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Berbagai Bidang
  • Sejarah Susunan Kabinet Pertama RI: Daftar Menteri Era Presidensial
  • Sejarah Pendidikan & Kebudayaan Era Penjajahan Jepang di Indonesia

Akhir Pemberontakan PETA di Blitar: Misteri Supriyadi

Supriyadi menghilang saat Jepang mengerahkan pasukannya ke Blitar dan nasibnya masih menjadi misteri yang belum tuntas terjawab hingga saat ini.

Beberapa versi kemudian muncul. Ada menyebut bahwa Supriyadi gugur dalam pertempuran melawan Jepang, ada pula yang memperkirakan Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan dalam pelariannya, namun ada juga yang mengatakan bahwa Supriyadi bersembunyi dari Jepang dan tidak pernah ditemukan.

Rekan seperjuangan Supriyadi, Kemal Idris, dalam autobiografinya bertajuk Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi (1997) yang ditulis Rosihan Anwar, masih mengingat masa-masa tersebut.

“Pada peristiwa yang tragis itu saya ingat dengan teman saya Supriyadi. Dia menghilang tak tentu rimbanya. Saya kira dia dibunuh oleh Jepang," tulis Kemal Idris.

Baca juga:

  • Daftar Negara Pertama yang Mengakui Sejarah Kemerdekaan Indonesia
  • Sejarah Jepang Masuk ke Indonesia: Kapan, Tujuan, & Kronologi
  • Sejarah Organisasi Bentukan Jepang di Indonesia & Contohnya

Artikel yang ditulis Mayor Soebardjo dalam Majalah Vidya Yudha (1971) juga memperkirakan hal yang sama terkait nasib Supriyadi. Dikabarkan bahwa Supriyadi mengembuskan napas terakhir di Gunung Wilis, ditembak oleh satu regu tentara Jepang.

Setelah merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan pemerintahan sendiri. Pada 6 Oktober 1945, Ir. Sukarno selaku Presiden RI mengumumkan susunan kabinet. Nama Supriyadi dinyatakan sebagai Menteri Keamanan Rakyat.

Namun, Supriyadi ternyata tidak pernah muncul lagi. Pada 20 Oktober 1945, posisinya digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai menteri ad interim. Pemerintah RI kemudian menetapkan Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 9 Agustus 1975.

Baca juga:

  • Sejarah Kabinet Wilopo: Susunan, Program Kerja, & Akhir Kekuasaan
  • Sejarah Kabinet Sukiman: Susunan, Program & Penyebab Jatuhnya
  • Sejarah Kabinet Burhanuddin Harahap: Program Kerja & Kejatuhannya

Baca juga artikel terkait PEMBERONTAKAN PETA atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
(tirto.id - ica/isw)


Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Apa dampak dari pemberontakan PETA di Blitar terhadap bangsa Indonesia
Patung Bung Karno

Pada fase “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat pimpinan Raja Amangkurat, Blitar jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena Raja Amangkurat menghadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan.  Penjajahan di Blitar berlangsung dalam suasana serba menyedihkan karena memakan banyak korban, baik nyawa maupun harta dan akhirnya rakyat Blitar pun kemudian bersatu padu dan bahu membahu melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda. Dan untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, pada tahun 1906 pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906, yang isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar. Momentum pembentukan Gemeente Blitar inilah yang kemudian dikukuhkan sebagai hari lahirnya Kota Blitar. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia antara lain kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean. Pada tahun 1928, Kota Blitar pernah menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar", dan berdasarkan Stb. Tahun 1928 Nomor 497 Gemeente Blitar ditetapkan kembali. Pada tahun 1930, Kotaparaja Blitar sudah memiliki lambang daerah sendiri. Lambang itu bergambar sebuah gunung dan Candi Penataran, dengan latar belakang gambar berwarna kuning kecoklatan di belakang gambar gunung –yang diyakini menggambarkan Gunung Kelud dan berwarna biru di belakang gambar Candi Penataran. Alasan yang mendasarinya adalah Blitar selama ini identik dengan Candi Penataran dan Gunung Kelud. Sehingga, tanpa melihat kondisi geografis, lambang Kotapraja Blitar pun mengikuti identitas itu.  Pada tahun 1942, Jepang berhasil menduduki Kota Blitar dan istilah Gementee Blitar berubah menjadi “Blitar Shi”, yang diperkuat dengan produk hukum yang bernama Osamu Seerai. Di masa ini, penjajah Jepang menggunakan isu sebagai saudara tua bangsa Indonesia, Kota Blitar pun masih belum berhenti dari pergolakan. Bukti yang paling hebat, adalah pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Soedancho Suprijadi. Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 itu, merupakan perlawanan yang paling dahsyat atas kependudukan Jepang di Indonesia yang dipicu dari rasa empati serta kepedulian para tentara PETA atas siksaan –baik lahir maupun batin- yang dialami rakyat Indonesia oleh penjajah Jepang.  Konon kabarnya, menurut Cindy Adams di dalam otobiografi Bung Karno, pada tanggal 14 Februari 1945 itu pula, Soeprijadi dan kawan-kawan sebelum melakukan pemberontakan, sempat berdiskusi tentang rencana pemberontakan ini dengan Ir. Soekarno yang ketika itu tengah berkunjung ke Ndalem Gebang. Namun Soekarno ketika itu tidak memberikan dukungan secara nyata karena Soekarno beranggapan lebih penting untuk mempertahankan eksistensi pasukan PETA sebagai salah satu komponen penting perjuangan memperebutkan kemerdekaan.  Di luar pemberontakan yang fenomenal itu, untuk kali pertamanya di bumi pertiwi ini Sang Saka Merah Putih berkibar. Adalah Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Suprijadi, yang mengibarkan Sang Merah Putih di tiang bendera yang berada di seberang asrama PETA. Kini tiang bendera itu berada di dalam kompleks TMP Raden Widjaya, yang dikenal pula sebagai Monumen Potlot. Pemberontakan PETA ini walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak, kecuali Suprijadi, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan peristiwa ini telah mampu membuka mata dunia dan menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang. 

Beberapa saat setelah pemberontakan PETA Blitar, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat Kota Blitar pun menyambutnya dengan gembira. Sebab, hal inilah yang ditunggu-tunggu dan justru itulah yang sebetulnya menjadi cita-cita perjuangan warga Kota Blitar selama ini. Karena itu, rakyat Kota Blitar segera mengikrarkan diri berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Sebagai bukti keabsahan keberadaan Kota Blitar dalam Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1945 tentang perubahan nama “Blitar Shi” menjadi "Kota Blitar".