Apa akibat yang terjadi jika nelayan nekat memaksakan diri melaut jelaskan

Apa akibat yang terjadi jika nelayan nekat memaksakan diri melaut jelaskan

Deretan perahu nelayan di pesisir Pantai Sendangbiru, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

(Gelombang  di Pantai Malang Selatan Capai 6 Meter)
Kab Malang, Bhirawa Gelombang air laut di pesisir pantai Malang Selatan mencapai ketinggian 6 meter. Akibatnya, ribuan nelayan di pesisir pantai tersebut berhenti melaut. Karena jika para nelayan nekat melaut mencari ikan, akan berisiko tinggi pada jiwa mereka. Koordinator Nelayan Pantai Tamban, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan Budi Hari menjelaskan sebenarnya sudah lama nelayan di Pantai Malang Selatan tidak melaut, ada sekitar dua bulanan. Namun, pada bulan Juni 2016, masih bisa melaut. “Tapi karena saat ini gelombang air laut tinggi mencapai 6 meter, maka para nelayan memutuskan untuk sementara tidak melaut, hingga kondisi gelombang laut normal,” ungkapnya. Dan tidak hanya gelombang air laut tinggi di Pesisir Pantai Malang Selatan, lanjut dia, tapi juga cuaca di tengah laut sering turun hujan yang disertai angin kencang. Dengan cuaca ekstrem, maka akan mempengaruhi hasil tangkapan ikan. Karena nelayan Desa Tambakrejo yang berjumlah 180 orang tidak ada yang melaut, maka stok ikan di Pantai Tamban kosong. Sehingga dirinya dan sebagian nelayan lainnya memilih menjadi buruh tani. “Kami tidak berani spekulasi melawan alam, sehingga memilih berhenti mencari ikan di laut. Dan agar dapur di rumah tetap mengepul, maka dirinya bekerja serabutan, yakni menjadi buruh tani,” papar Budi. Selain sebagian nelayan memilih sebagai buruh tani, kata dia, sebagian juga memperbaiki perahu dan jaring ikan, karena daripada menganggur. Dan tidak hanya nelayan Pantai Tamban saja yang berhenti melaut ketika terjadi gelombang tinggi, namun juga nelayan Pantai Sendangbiru. Sehingga dipastikan ada sebanyak ribuan nelayan di wilayah Pantai Malang Selatan saat ini berhenti melaut. Budi juga mengaku, meski terjadi gelombang tinggi, tapi ada beberapa nelayan yang memaksakan diri mencari ikan. Sementara, nelayan yang memaksakan melaut, tentunya hasil tangkapan ikan tidak sebesar ketika gelombang laut normal. “Padahal, mereka sudah diperingatkan oleh Polisi Air dan Udara (Polairud) Polres Malang yang berada di pos Pantai Sendangbiru,” terangnya. Secara terpisah, salah satu pedagang ikan di Pasar Gondanglegi, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang Nursiyah membenarkan, jika satu minggu terakhir ini, telah terjadi kelangkaan ikan laut. Dan jika ada pedagang yang menjual ikan laut, pasti harganya mahal dari harga biasanya. Seperti harga ikan tuna yang biasanya Rp 14 ribu per kilogramnya, kini harganya mencapai Rp 22 ribu-Rp 25 ribu per kilogramnya.

“Begitu juga dengan harga ikan tengiri, yang biasanya Rp 22 ribu kini harganya bisa tembus Rp 30 ribu per kilogramnya. Serta harga cumi-cumi juga ada kenaikan, dari Rp 9 ribu per kilogram, kini menjadi Rp 10 ribu per kilogram,” jelasnya. [cyn]

Jakarta - Ketersediaan kapal dan alat tangkap yang kurang memadai membuat nelayan di Belitung Timur sangat bergantung pada kondisi cuaca untuk melaut mencari ikan. Bila memaksakan diri melaut saat cuaca buruk, tangkapan nelayan tak maksimal bahkan bisa kehilangan nyawa dilaha ombak.Meski demikian, sebenarnya ada cara yang bisa ditempuh sebagai solusi mengoptimalkan tangkapan nelayan.Ketua Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI) Beltim M Aedy M berpendapat, sudah waktunya pihak pemda memberikan perhatian lebih pada para nelayan. Misalnya dengan memberikan bantuan berupa coldstorage sehingga nelayan bisa menggunakan sistem penyimpanan ketika musim ikan tiba.Konsepnya seperti petani yang pada saat musim panen bisa menyimpan hasil pertanian yang melimpah. Kemudian bisa menggunakan simpanan tersebut saat pasokan hasil pertanian sedang minim."Coldstorage akan sangat bermanfaat, terutama bagi nelayan yang biasa melaut dengan kapal besar. Jadi, saat tangkapan ikan mereka bagus, bisa disimpan untuk menyiasati cuaca buruk," sebut dia lewat sambungan telpon, Jumat (2/3/2018).Sebelumnya, Sekjen Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Belitung Timur, Aman Saprin, cuaca buruk biasanya terjadi pada September-Desember. Pada masa tersebut, ada juga nelayan yang memaksakan diri, utamanya para nelayan yang biasa melaut lebih dari 20 mil, namun hasil tangkapannya tidak maksimal. "Bahkan ada nelayan hilang di lautan karena terus melaut dalam cuaca buruk," kata Aman.Dihubungi terpisah, tokoh nelayan Belitung Timur, Syamsuriza, menjelaskan, masalah lain yang sekarang membelit nelayan di kawasan tersebut adalah ketiadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Akibatnya, nelayan harus pasrah menerima harga yang ditawarkan para tengkulak."Bayangkan saja, Beltim ini punya banyak ikan. Tapi, tidak punya TPI, harga ikan pun mahal. Miris sekali. Padahal, lelang membentuk harga pasar. Hasil lelang baru dimasukkan ke coldstore. Nah, hingga saat ini, karena TPI belum ada, para nelayan berhubungan langsung dengan tengkulak. Soal harga, mereka terpaksa mengikuti apa mau tengkulak," ujarnya.Hal lain yang diharapkan para nelayan adalah asuransi kesehatan. Saat ini, rata-rata nelayan memakai BPJS mandiri.

"Sebenarnya harapan kita sederhana, yakni bisa melaut dengan tenang, bisa makan, dan memenuhi biaya hidup sehari-hari. Kadang, kesehatan malah nggak dipikir. Nah, ini harusnya diperhatikan juga pihak pemda. Sementara, asuransi dari pusat (kusuka) sampai sekarang belum ada realisasinya," kata Syamsuriza. (dna/dna)

Liputan6.com, Ambon - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pattimura Ambon, mengimbau para nelayan tradisional agar mewaspadai gelombang tinggi laut Maluku bagian Utara pada beberapa hari ke depan.

Kepala BMKG Stasiun Pattimura Ambon, Ot Oral Sem Wilar mengatakan, gelombang tinggi laut Maluku diperkirakan mencapai 2,5 meter berbahaya bagi nelayan yang hendak menangkap ikan dengan armada tradisional.

Karena itu, ia meminta para nelayan tidak memaksakan diri melaut bila hanya dengan mengandalkan armada tradisional.

Dia menilai armada tradisional berupa perahu berlambung besar tidak kuat menahan gempuran ombak setinggi 2,5 meter karena dapat berakibat fatal bagi para nelayan.

"Imbauan ini telah diteruskan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku, maupun sembilan kabupaten dan dua kota," kata Ot, Minggu (25/11/2018) dilansir Antara.

Dia juga mengharapkan para Bupati dan Wali Kota agar mengimbau perusahan penyedia maupun pengguna jasa transportasi laut untuk memperhatikan perubahan cuaca secara ekstrem sehingga tidak memaksakan diri berlayar.

Dalam kondisi cuaca ekstrem, kata dia, maka Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas 1 Ambon berwenang tidak memberikan izin berlayar, bahkan sekiranya dipandang perlu aktivitas pelayaran untuk sementara ditutup sambil menunggu laporan perkembangan cuaca terbaru.

"Para pengguna jasa transportasi juga hendaknya memaklumi bila terjadi penundaan dan keterlambatan jadwal keberangkatan kapal laut akibat faktor cuaca karena pertimbangan perlunya memprioritaskan keselamatan," ujar Ot.

Disinggung soal angin, dia menjelaskan, kondisi sinoptik umumnya dari arah barat-utara dengan kecepatan terbesar 15 Knots (30 KM/Jam).

Sedangkan, cuaca pelayaran di Maluku bervariasi hujan ringan hingga hujan sedang dengan suhu bervariasi 24 - 32 derajat Celcius dan kelembaban 66 - 91 persen.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Apa akibat yang terjadi jika nelayan nekat memaksakan diri melaut jelaskan

Nelayan di Pantai selatan Cianjur, Jawa Barat, tetap melaut meskipun cuaca ekstrem karena sudah lama menganggur dan sudah masuknya musim ikan jenis Layur (Ahmad Fikri)

  • Akibat cuaca buruk, para nelayan di kawasan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kranji, Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, berhenti melaut.
  • Untuk mengisi waktu, para nelayan Desa Kranji memperbaiki jaring dan perahu yang rusak. Mereka juga mengeluhkan dermaga yang sempit sehingga perahu rawan rusak bersenggolan karena parkir perahu yang terlalu rapat
  • Nelayan bilang, tahun ini cuaca buruk datangnya lebih awal, padahal di tahun-tahun sebelumnya ombak besar datangnya di bulan Januari. Menurut nelayan, cuaca sekarang sudah sulit diprediksi, makin tahun makin susah di tebak.
  • BNPB menghimbau masyarakat untuk mewaspadai bahaya hidrometeorologi. Peringatan itu dikeluarkan berdasarkan prediksi cuaca ekstrim BMKG.

Deburan ombak berwarna putih kecoklatan menghantam keras batu tanggul di kawasan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kranji, Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Tanggul tersebut berfungsi untuk menanggulangi terjadinya abrasi di kawasan TPI. Puluhan perahu tampak bergesekan satu sama lain hingga menimbulkan bunyi “kriyit, kriyit, kriyit, krek-krek-krek”.

Siang itu angin bertiup kencang. Awan mendung di langit menghalangi sinar matahari untuk turun ke bumi. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan Muhaimin, nelayan setempat mengecek perahunya yang bersandar di dermaga TPI yang tidak jauh dari jalan raya Deandels di pesisir Lamongan itu.

baca : Dimana Peran Negara Saat Cuaca Buruk Terjadi dan Nelayan Tak Bisa Melaut?

Apa akibat yang terjadi jika nelayan nekat memaksakan diri melaut jelaskan
Ombak menghantam tanggul pembatas saat cuaca buruk. Sementara itu, BNPB menghimbau masyarakat untuk mewaspadai bahaya hidrometeorologi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

“Kalau cuaca lagi kurang bersahabat gini perahu harus sering-sering dicek. Khawatir nanti ban penghalaunya ada yang jatuh, bisa-bisa tabrakan dengan perahu lain,” kata pria berkepala enam ini kepada Mongabay Indonesia, Rabu (09/12/2020), usai memastikan perahu miliknya itu aman.

Dia bilang, pengalaman tahun sebelumnya, ban perahunya copot sehingga perahunya rusak bersenggolan menabrak perahu di kanan kirinya, sehingga dia mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah.

Sembari di temani anaknya, Muhaimin ini menjelaskan, bersama puluhan perahu lain, perahu miliknya tersebut ditambatkan di dermaga sudah sepekan ini akibat cuaca buruk. Kondisi cuaca di tengah laut akhir-akhir ini sedang kurang bersahabat, dan anginnya cukup kencang. Sehingga para nelayan sementara waktu memilih untuk tidak pergi melaut.

baca juga : Jadilah Nelayan yang Menyesuaikan Kondisi Alam

Apa akibat yang terjadi jika nelayan nekat memaksakan diri melaut jelaskan
Seorang nelayan di TPI Kranji, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jatim, mengamankan perahunya agar tidak berbenturan dengan perahu yang lainnya saat cuaca buruk. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Perahu Rusak

Imron (50), nelayan lain juga merasakan hal sama, akibat cuaca buruk tersebut dia terpaksa harus istirahat sementara waktu. Guna mengatasi kekosongan karena tidak melaut, dia dan nelayan lain di TPI tersebut memanfaatkan waktu untuk memperbaiki jaring.

Apesnya, dia juga harus memperbaiki perahunya yang rusak karena bertabrakan dengan perahu lain yang sama-sama di parkir di dermaga. Dia mengeluarkan biaya sekitar Rp10 juta untuk memperbaiki perahunya.

“Kami berharap kondisi cuaca bisa segera normal, biar bisa melaut lagi. Bingung juga kalau sudah tidak ada pendapatan seperti ini,” tutur pria berkulit sawo matang itu disela memperbaiki jaring.

Pria 50 tahun ini mengaku, cuaca buruk seperti ini hampir terjadi setiap tahun. Hanya untuk bulan dan tanggalnya saja yang berbeda-beda. Datangnya cuaca buruk seperti sekarang ini, katanya, di bulan Desember. Kemudian nanti muncul lagi pada bulan Januari-Maret. Hanya durasi waktunya yang tidak sama, ada yang seminggu selesai. Ada pula yang dua minggu baru berhenti, setelah itu normal kembali.

Cuaca seperti ini, lanjut Imron, orang setempat menyebutnya dengan sebutan musim baratan yang berarti musim angin barat. Disaat musim seperti ini rata-rata nelayan tidak berani melaut. “Kalaupun ada yang berangkat dia sangat terpaksa, karena sudah tidak ada pinjaman uang. Beberapa masih ada yang nekat untuk melaut,” jelasnya.

perlu dibaca : Rob dan Gelombang Tinggi Akibatkan Bencana, Nelayan Juga Kian Terpuruk  

Apa akibat yang terjadi jika nelayan nekat memaksakan diri melaut jelaskan
Salah satu perahu milik nelayan yang pecah karena cuaca buruk. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Sementara itu, Sufaat Ampianto (48) Bendahara Rukun Nelayan Kranji mengatakan ada sekitar 32 perahu nelayan yang berhenti melaut di desanya. Akibat cuaca buruk ini ada sekitar 4 perahu nelayan yang rusak sedang hingga berat yang tidak bisa lagi dibenahi.

Dia bilang untuk tahun ini cuaca buruk datangnya lebih awal, padahal di tahun-tahun sebelumnya ombak besar datangnya di bulan Januari. “Cuaca sekarang sudah sulit diprediksi, makin tahun makin susah di tebak. Beda halnya dengan dulu yang terpola. Sehingga nelayan bisa lebih siap,” katanya.

Dermaga Kurang Panjang

Untuk kerusakan perahu ini, kata Imron, setiap tahun pasti ada yang terdampak. Pasalnya dermaga yang digunakan untuk bersandar perahu tersebut terlalu sempit, sehingga perahunya terlalu rapat bersandar. Jika cuaca buruk seperti sekarang ini perahu pasti ada yang jadi korban. Dengan jumlah perahu 32 tersebut mestinya diperlukan panjang dermaga kurang lebih 200 meter. Panjang dermaga saat ini sekitar 150 meter, artinya masih kurang 50 meter lagi.

Mewakili nelayan lainnya dia bilang, sebetulnya untuk kondisi dermaga juga kurang layak. Sebab selain kurang panjang, kondisinya juga memprihatinkan. Beberapa titik sudah mengalami retak dan posisinya miring. Hal ini tentu membahayakan nelayan saat bersandar.

Selain itu kondisi dermaga yang dangkal juga sangat mempengaruhi aktivitas perahu nelayan di Kranji “tiga tahun lalu kami sudah pernah mengajukan ke dinas, tapi sampai sekarang belum ada realisasainya. Yang ada malah kami melakukan swadaya untuk pengurukan untuk tempat memperbaiki jaring,” imbuhnya sembari menyebut pembangunan tersebut menghabiskan biaya kurang lebih Rp.1 Miliar.

baca juga : Berkat Aplikasi Cuaca, Nelayan Malang Bisa Antisipasi Gelombang Pasang dan Banjir Rob

Apa akibat yang terjadi jika nelayan nekat memaksakan diri melaut jelaskan
Plengsengan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kranji, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jatim, yang rusak akibat tergerus ombak saat cuaca buruk. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Lanjut Imron, di Kranji sendiri untuk saat ini sedang musim tangkapan ikan tongkol. Seumpama cuaca tidak buruk nelayan setempat sekali berangkat pendapatannya pun beragam. Misal beruntung ada yang berhasil membawa 10 ton hasil tangkapan dengan durasi melaut sehari, jam 07.00 WIB hingga jam 22.00 WIB.

Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghimbau masyarakat untuk mewaspadai bahaya hidrometeorologi. Peringatan itu dikeluarkan berdasarkan prediksi cuaca ekstrim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Bahaya tersebut dapat berupa banjir, banjir bandang, tanah longsor maupun angin kencang. Prediksi cuaca ekstrim muncul setelah memantau perkembangan sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Bengkulu dan di Laut Jawa Selatan Kalimantan.

Sirkulasi siklonik itu membentuk daerah pertemuan atau perlambatan angin (konvergensi) yang memanjang di perairan utara Aceh, mulai dari Sumatra Utara hingga perairan barat Bengkulu, di Selat Karimata bagian utara, Papua bagian barat hingga Maluku bagian selatan, serta dari Kalimantan Tengah hingga Selat Karimata bagian selatan.

“Kondisi ini dapat meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut,” ujar Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, dalam keterangan pers, Minggu (22/11).

Apa akibat yang terjadi jika nelayan nekat memaksakan diri melaut jelaskan
Di TPI Kranji, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jatim, saat ini sedang musim tangkapan ikan tongkol. Seumpama cuaca tidak buruk nelayan bisa mendapatkan sekitar 10 ton ikan sekali berangkat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

***

Keterangan foto utama : Sejumlah perahu bersandar di TPI Kranji, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jatim, pada awal Desember 2020, saat cuaca buruk nelayan tidak berani melaut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia